Chapter 8

2.3K 837 1K
                                    


"Kok masih belum senyum, sih? Kan kita udah jalan-jalan, udah nonton, ke mall, belanja baju. Kamu mau apa lagi?" Seharian Caraka menyisihkan waktunya untuk menemani Ratih berjalan-jalan. Sejak tadi pagi, Ratih cemberut. Mobil berhenti di depan rumah. Caraka membantu menurunkan barang-barang Ratih dari bagasi sementara adiknya itu sudah berlari masuk ke dalam.

"Kumaha atuh, A?" tanya Teh Yati melihat Ratih berlalu begitu saja dengan wajah tertekuk. "Sini Teteh bantu."

"Nggak apa, Teh, aku aja." Caraka membawa paper-bag berisi belanjaan Ratih dan membawa ke kamar adik perempuannya itu. Padahal dia sudah habis uang banyak, menemani Ratih dari satu butik ke butik lain, sengaja meminta izin tidak datang ke latihan Aspire karena ingin menemani Ratih.

Caraka meletakkan paper-bag di sofa lalu menutup gorden kamar Ratih berhubung langit sudah gelap sejak tadi. Adiknya itu kini tertidur di kasurnya dengan wajah tetap murung. Caraka mengusap rambut Ratih. "Abang harus gimana lagi biar kamu nggak bete?" tanya Caraka menggerakkan tangannya.

Ratih masih diam saja.

"Ratih ngomong dong, kalau kamu diam gini, Abang nggak paham. Abang kan bukan peramal yang bisa nebak-nebak."

"Aku mau main sama Kak Anin." Ratih akhirnya menjawab.

"Emang kenapa kalau main sama Abang?"

"Beda, Bang. Abang kan laki-laki, sedangkan Kak Anin perempuan! Abang nggak akan paham."

"Biasanya juga main sama Abang."

"Aku tuh udah remaja, aku butuh teman perempuan Bang, aku bosan di rumah aja. Abang nggak ngerti ya perasaan aku gimana? Aku ngerasa terjebak di rumah ini, sementara anak-anak lain seusiaku dunianya tuh bergerak dan aku hanya bisa ngeliatin kehidupan mereka dari dalam rumah." Ratih yang biasanya diam dan memendam, kali itu lepas kendali. Bulir air mata mengalir ke pipinya.

Caraka terdiam, baru kali itu dia mendengar Ratih bicara jujur. Selama ini dia pikir kehidupan Ratih baik-baik saja, dia hidup bergelimangan fasilitas tanpa kekurangan apa pun. Setiap hari Ayah pun menelepon, memastikan kabarnya baik-baik saja.

"Abang keluar aja deh, aku mau sendirian." Ratih memberikan ultimatum terakhir kalau dia sedang tidak ingin diganggu.

Tidak ada pilihan bagi Caraka selain mengalah. Lelaki itu melangkahkan kakinya keluar. Dia masuk ke kamarnya dengan pikiran linglung. Perhatiannya tertuju ke sebuah figura yang selalu dia pajang di meja nakas dan tidak pernah dia biarkan setitik debu pun menyentuhnya. Potret ibunya. Foto itu diambil oleh dirinya sendiri sewaktu ibunya sedang asyik menyiram bunga dengan perut membesar, di dalamnya ada Ratih yang waktu itu masih 5 bulan. Dia mengusap figura seiring dengan buncahan rasa rindu dalam dada.

****

Awalnya Anindita kira kehidupan di kampus akan menyenangkan dan santai seperti halnya yang sering dia tonton di televisi, di mana orang-orang sibuk menenteng buku, ke kantin, ketemu cowok, lalu jatuh cinta. Kenyataannya, itu hanyalah fiksi semata. Kehidupan kampus di dunia nyata jauh lebih menyeramkan dan memberlakukan hukum rimba. Yang berkuasa, yang pintar, itulah yang dipuja-puja dan memenangkan pertarungan. Sementara yang bodoh, yang tidak punya kemampuan, tentu akan tersisihkan. Anindita ada dalam golongan mana? Sudah bisa ditebak tanpa kemampuan seorang Hermione, di mana posisi seorang Anindita.

Kalau di SMA, ada teman yang bisa membantu, ada guru yang akan mengajarkan mata pelajaran. Namun, ketika kuliah semua berbeda. Mahasiswa dituntut mandiri, mulai dari mencari materi sampai mengerjakan tugas. Terlebih lagi semenjak insiden fitnah dompet hilang yang tiba-tiba ada dalam tas Anindita, semakin merana saja kehidupannya di kampus. Tiap kali Anindita berusaha mendekat, yang lain akan menjauh. Seolah dia adalah virus yang harus dijauhi.

Cita Cinta CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang