28 - BEKAS MASA LALU

Start from the beginning
                                    

"Kenapa, Bu? Nyari si Kurma?"

"Bukan!" ujarnya. Dia kembali mendekatkan wajahnya walau aku refleks sedikit mundur, tapi kali ini berusaha mendengarkan dengan baik karena penasaran. "Gimana?"

"Apanya?"

"Si Hana, Sti. Gue tahu dia udah balik, cuma gue belum berani tanya dia kenapa ngilang. Lu tahu sendiri dari awal dia balik sampe kemaren gue lihat-lihat tuh anak belom kayak biasanye. Cemberut mulu, kagak ada ceria-cerianye gue perhatiin."

"Pantesan Bu Kos enggak sering ke kosan akhir-akhir ini." Memang betul, si nenek itu semenjak si Hana kembali jadi jarang mengunjungi. Aku kira karena dia sudah tidak peduli soal penghuninya yang kembali atau menghilang lagi, ternyata dia masih menunggu si Hana punya tenaga untuk bercerita.

Kumatikan selang air. "Sama, Bu. Sama kita juga si Hana masih belum mau nyeritain alesannya dia begitu kenapa. Kita berempat juga enggak mau neken dia buat cerita, kata Akbar kalau emosinya masih belum stabil enggak usah dipaksa buat cerita. Dia ngilang berhari-hari gitu berarti masalahnya enggak sepele, kan?"

Bu Kos meremas bibirnya yang sedikit monyong, kini wajahnya mulai menampakkan kekhawatiran. Kocaknya ibu-ibu ini, berpikirnya tidak mau diam. Sekarang saja mondar-mandir di depanku, belum cukup, tangannya juga berubah setiap beberapa langkah. Terkadang di bibir, kadang di pinggang, kadang di kepala, kadang menggaruk lehernya yang aku baru sadar dia memiliki kalung emas baru.

"Diem napa, Bu," ucapku seraya menahan tubuhnya dengan selang. Kesel banget. "Kalau mondar-mandir gitu Asti juga jadi ikutan pusing. Ah elah, bikin emosi pagi-pagi aja."

"Lama-lama lu duluan yang bakal jadi nenek-nenek, Sti. Emosian nanti keriput, tahu rasa!"

Euh. Dikata-katain nanti keriput sama orang yang sudah keriput itu rasanya ingin kutarik kulitnya, tapi takut nempel. Enak saja aku jadi nenek-nenek duluan daripada si nenek beneran itu, selama ada Akbar aku yakin akan tampak fresh dan awet muda.

Telanjur diajak bergibah, aku jadi tidak tahan ingin mengeluarkan hal-hal yang disampaikan si Hana kemarin. Enggak tahu ini boleh kuceritakan ke orang lain atau enggak, tapi Akbar enggak melarang di bagian ini sih. Akbar cuma tidak merekomendasikan untuk memaksa si Hana buat bercerita, berarti kalau aku yang bercerita soal si Hana ke Bu Kos harusnya enggak apa-apa, kan?

"Eh tapi, Bu. Si Hana itu sebenernya enggak mau ngilang awalnya."

"Kok lu tahu? Katanya belum cerita."

"Ya emang belum, tapi pan kita semua nanyain awalnya kenapa dia bisa pergi." Aku mulai melepaskan selang dari tubuh Bu Kos karena dia semakin mirip ular yang tertangkap, tidak mau diam. "Ternyata dia sempet bantuin persiapan pengajian si ibu tetangga baru waktu itu."

"Bu Ratna maksud lu?"

"Iye." Ya mana aku ingat kalau nama si ibu tetanga baru adalah Ratna. Tapi seingatku namanya Retno. Entahlah. "Pokoknya dia waktu itu lagi ada masalah, terus ibu-ibu yang bantuin juga di sana malah pada nyuruh si Hana buat ceria, semangat, padahal anak orang lagi sedih, ya. Terus dia kabur, terus ketemu anaknya si ibu tetangga baru sebelum kabur."

Bu Kos mengembuskan napasnya pelan. Dia seperti menyadari sesuatu.

"Sti, gue emang gak sepenuhnya ngerti sama reaksi seharusnye yang dilakuin orang tua buat ngadepin anak muda kayak elu-elu pada. Tapi gue ngerti kenape ibu-ibu itu pada nyuruh si Hana buat kagak sedih-sedihan, mungkin niat mereka juga sebenernya baek. Mau supaya si Hana enggak sedih, cuma kayaknya caranya salah ya?"

"Kalau kata Akbar sih salah, Bu. Kalau lagi sedih jangan dipaksa buat seneng, jangan dipaksa buat enggak ngerasain apa yang sebenernya lagi dirasain." Seingatku Akbar memang mengatakan hal seperti itu, dan aku setuju.

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now