Begitu selesai, baru lah Sekala membuka suara hanya untuk menanyakan bagaimana keadaan anak nya hari ini.

"Gimana hari ini? Ada yang ganggu gak?"

Selalu. Sekala selalu menyempatkan kegiatan seperti ini setiap hari nya, terkadang sebelum tidur dirinya akan repot-repot datang ke kamar Dito demi untuk mendapatkan jawaban tentang apa yang ia tanyakan barusan. Sepele memang, tetapi Sekala tidak akan bisa tidur dengan nyenyak kalau tidak mendapat jawaban sepatah kata pun dari putra semata wayang nya tersebut.

"Baik, agak ngeselin sih. Soalnya tadi pas ekskul anak-anak pada gak konsen, bikin capek doang."

Begitu pun Dito. Dia akan sebisa mungkin menjabarkan bagaimana keseharian nya kepada Sekala. Dito tidak pernah merasa keberatan justru dirinya butuh. Dito tidak bisa segamblang ini bercerita dengan Raga meskipun mereka sudah berteman lama, apa yang tidak ia ceritakan pada Raga pasti akan berakhir di dengar oleh Sekala.

Dito hanya merasa tidak mau menyulitkan Papa dengan segala cerita yang sengaja ia sembunyikan. Dirinya pun cukup sadar kalau Papa seperti ini agar ia merasa tidak kesepian.

"Apa yang bikin gak konsen emang nya?" Jawab Sekala pelan seraya meneguk kopi terakhir nya.

Mendengus sebal Dito mulai mengunyah apel yang baru saja selesai di kupas.

"Biasa ngeliatin anak-anak yang ekskul basket. Heran, padahal disana isi nya orang gila—aa maksud aku, anak narsis yang gila pengakuan. Ah pokoknya hari ini nyebelin lah, mana Raga ninggalin ke kantin tadi!"

Mendengar itu Sekala jelas tidak bisa menahan tawa nya. Dito sangat mirip dengan Danila, mulai dari wajah, cara anak itu bercerita sampai raut nya yang menahan kekesalan, semua nya sangat mirip. Bahkan mungkin kalau dia bilang Dito adalah adik Danila, orang awam akan percaya saja. Wanita itu benar-benar tidak membiarkan dirinya untuk melupakan barang sedetik.

Sekala juga tidak berniat untuk melupakan sih, Danila selalu ada di dalam hati nya. Sampai kapan pun.

"Papa jangan ketawa dong, aku lagi gak ngelucu loh ini." Balas nya dengan wajah yang dua kali lipat lebih kesal.

"Maaf maaf, gimana ya abis nya muka kamu kalo ngomel lucu gini. Merah semua mirip sama Mama, haha."

"Ck! Gak adil, selalu bawa-bawa Mama biar aku gak jadi ngamuk." Decak nya terdengar begitu sebal.

Apa yang Dito ucapkan bukanlah sebuah kebohongan. Karena itu fakta, setiap kali Sekala mengejek nya atau menertawai nya maka Papa nya itu akan selalu membawa Mama sebagai pembelaan. Dan sial nya Dito tidak pernah jadi marah kalau begitu.

Karena, Papa akan selalu bilang begini.

"Kamu tuh mirip Mama banget kalo lagi gini."

"Kenapa ya kok kamu tuh bisa mirip banget sama Mama, Papa gak dibagi."

"Ngomel mulu, mirip Mama."

"Jangan kebanyakan marah, Dito. Udah kayak Mama aja."

Begitu. Dito tidak tau untuk maksud apa Papa berkata demikian, tetapi, jauh dalam lubuk hati nya ia jadi semakin penasaran bagaimana sebenarnya Mama itu? Dirinya sering bertanya pada Papa tentang Mama, tetapi Papa selalu berhasil menghindari.

"Pa, boleh nanya gak?"

"Boleh, nanya apa tuh?"

"Mama tuh kayak gimana sih orang nya?"

"Ya kamu liat aja diri kamu sendiri."

Pada akhirnya ia hanya bisa kecewa diam-diam. Dito punya foto Mama dan memang tidak salah sih, Mama benar-benar mirip dengan nya—ah tidak dirinya yang mirip Mama, Papa selalu bilang begitu. Kalau di katakan mungkin dirinya adalah Mama versi lelaki.

Hi, Bye Papa! Where stories live. Discover now