07 : the humor of pokemon umbrellas

50 4 0
                                    

✿happy reading✿

Hujan telah turun ketika Alby keluar dari gedung Fairytale Library. Alby diberi kabar bahwa temannya itu sudah menunggu di depan, tapi ia tak menemukan mobil yang dikenalinya. Tak lama kemudian, temannya menghubungi lewat telepon.

"Hallo, By? Gue di indomaret depan nih, lo bisa kesini aja gak? Gue males muter balik."

"Gue kesana aja."

"Gue tunggu, buruan."

Tanpa merespon lagi, Alby memutuskan panggilan dan kembali mengantongi ponsel pintarnya. Sebelum menembus hujan deras, Alby membuka payung yang katanya masih baru, tercium dari aromanya. Awalnya ia berpikir, payung tersebut satu model dan warna dengan payungnya yang dulu.

Namun, ia sontak saja tercengang begitu payung terbuka. Gambar pokemon menjadi motif payung tersebut. Perutnya serasa digelitiki hingga bibirnya tak berhenti terkulum, menahan tawa. Sedikit gengsi juga ketika orang-orang mendadak memperhatikannya.

Akan tetapi, hal itu tak membuatnya minder lantaran ia sibuk membayangkan ekspresi wajah Hanabi --yang mungkin tak mengetahui perihal motif payung tersebut. Sebab, payung itu terbungkus oleh kantongnya yang polos.

Seorang yang tengah berdiri di depan indomaret memandang aneh pada payung pokemon yang semakin mendekatinya. Kerutan di keningnya tercetak jelas saat melihat siapa pemegang gagang payung tersebut. Suatu hal yang langka ketika Alby yang dikenal sebagai laki-laki yang tenang dan kalem, tiba-tiba memakai payung yang norak.

"Kenapa lo liat gue kayak gitu?" tanya Alby setelah ikut berteduh di samping temannya, Haga, yang memiliki nama lengkap Haralingga.

Haga mengerutkan bibirnya sambil memegang dagu, sedangkan pandangannya kini tertuju pada payung yang dilipat oleh Alby. "Itu payung punya lo?" tanyanya ragu.

Alby mengangguk dengan wajah yakin.

"Lo serius? Gambarnya pokemon."

"Gak ada yang bilang kalo gambarnya ultraman."

"Ya, maksud gue sejak kapan lo suka pokemon?"

Alby hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh, tak mau lagi meladeni ocehan Haga. Ia sibuk mengukir senyum sambil melihat payung di tangannya. Rasa geli itu masih ada. Humornya hanya sebatas gambar pokemon. Alhasil, tawanya lolos dengan renyah.

"Lah? Gila lo? Ketawa sendiri lagi." Haga makin dibuat heran oleh tingkah Alby, teman yang sudah ia kenal sejak SMP. "Lo kenapa? Sehat, 'kan?"

Alby mengangguk ringan dengan sisa tawa di wajahnya. "Gue sehat. Ayo, kita pergi sekarang."

"Gue aja yang nyetir mobil." Alby lebih dulu merampas kunci mobil milik Haga. Kemudian, masuk mobil mendahului temannya itu.

"Yang lain udah pada nunggu, agak ngebutan dikit," ujar Haga ketika mobil telah melaju membelah jalan raya yang basah oleh hujan.

"Jasta gimana? Dia udah disana?" tanya Alby di tengah-tengah kegiatan mengemudi.

"Udah."

"Biasanya dia suka telat."

"Kita doang yang molor. Lagian kenapa juga lo lama?"

Nada bicara Haga yang terdenger kesal, membuat Alby tertawa. Ya, lagi-lagi Alby tertawa dengan mata sipitnya yang tenggelam. Haga jadi penasaran, hal baik apa yang telah Alby temukan hingga matanya terlihat bersinar?

Mau setinggi apapun rasa ingin tahunya, Haga mengenal Alby dengan baik. Alby tetaplah Alby, yang ketika ingin berbicara pasti berbicara, apapun itu, dan ketika ingin tutup mulut, siapapun tidak akan ada yang bisa membuka mulutnya barang sedikit pun. Justru Haga tidak akan mengenalnya jika Alby tiba-tiba bercerita dengan sukarela. Ya, begitulah Alby, sedikit tertutup, tapi tak pernah menolak siapapun yang ingin terlibat di hidupnya.

Mobil yang ditumpangi dua pemuda itu belok ke parkiran sebuah studio musik. Ketika Alby dan Haga masuk, mereka telah ditunggu oleh beberapa orang yang sudah siap dengan alat music masing-masing. Ada Jasta, si ganteng kalem dengan jokes bapak-bapaknya, ia sudah memegang gitar listriknya. Lalu, ada Markus, si cowok receh, ia sudah bersiap dengan gitar acusticnya. Satu lagi, ada Faldo dengan segudang kejulidannya, ia sudah duduk di depan keyboard.

"Lama amat sih! Kalian dari mana aja, pokek?" Belum juga Haga dan Alby menyapa, Faldo sudah menyambar dengan kesabaran setipis helaian sapu di bagi seratus.

"Noh! Tanya sama orang yang bikin lama," tuding Haga pada Alby.

"Tumben lo molornya ngelebihin gue, By?" timpal Jasta.

Alby hanya tersenyum tanpa tampang berdosa dan mengangkat bahu ringan. Setelah melepaskan jaket dan ranselnya, ia ikut bergabung dengan teman-temannya sebagai drum band. Sedangkan Haga telah bersiap di depan microphone, ia sebagai vokalis. Mereka membentuk satu band yang terdiri dari lima orang. Setiap satu minggu sekali mereka akan meluangkan waktu untuk berlatih di tengah-tengah kesibukan.

Sesungguhnya band itu tercipta sejak mereka SMA, mereka maengikuti ekstrakulikuler seni musik. Lalu, mereka memperbaruinya ketika mulai memasuki masa kuliah. Mereka sepakat menyewa sebuah gedung yang dibuat kedap suara untuk tempat latihan. Katanya sih untuk sekedar menghilangkan penat, tapi nyatanya mereka malah makin penat karena banyak jadwal panggung ke panggung.

Sementara itu, di waktu yang sama Hanabi baru saja turun dari bus. Jarak gang komplek menuju ke rumahnya tak terlalu jauh. Hanabi berjalan riang menyusuri rumah-rumah dengan pagar tinggi. Sepertinya sudah hal yang lumrah ketika setiap rumah-rumah besar yang Hanabi lewati seperti tak berpenghuni. Sebab, rata-rata penghuni rumah di komplek tersebut adalah orang-orang sibuk, seperti kedua orang tuanya.

Matahari sudah bergulir hingga menyisakan sedikit pias cahaya jingga di ujung cakrawala. Karena hujan tak berhenti, hal indah itu tertutupi oleh awan yang gelap. Dengan payung beningnya, Hanabi menembus rintik-rintik hujan yang membawa pasukan terlalu banyak, sehingga pakaiannya sedikit kebasahan.

Dari payung yang transparan, Hanabi jadi bisa melihat bagaimana hujan berjatuhan dari langit. Indah sekali ... rasa-rasanya begitu menenangkan. Sedang tenang-tenang seperti itu, Agi datang mengagetkannya dari belakang.

"DORRR?!!!"

Hanabi terperanjat. Sedetik kemudian wajahnya sudah memasang ekspresi berang, tatapannya siap memotong leher Agi yang tengah tergelak puas.

"Agiiii?!" pekiknya kesal. "Gimana kalo aku jantungan?"

"Masa gitu doang jantungan," ujar Agi, tampangnya yang menyebalkan itu sudah bawaan dari lahir, alias lahiriah. "Lagian ngapain ngelamun di tengah hujan?"

"Aku bukan ngelamun," sangkal Hanabi. Matanya masih mendelik tajam.

"Wleee!"

Agi tiba-tiba meleletkan lidahnya setelah menyenggol tubuh Hanabi. Lalu, ia kabur dengan langkah seribu untuk menghindari amukan kakak perempuannya. Hanabi tak membiarkan Agi begitu saja. Ia mengejar laki-laki dengan payung hitam tersebut. Setelah tertangkap, Hanabi langsung memukulnya dengan gemas.

Namun, yang dipukul malah semakin tergelak, katanya bukan sakit tapi geli. Tenaga Hanabi yang tak sekuat Nata mana bisa memberikan pukulan keras pada Agi. Payung yang mereka gunakan sudah tak berguna lagi lantaran Agi dan Hanabi saling usil hingga berkali-kali mengakibatkan kejar-kejaran si sepanjang perjalanan menuju rumah.

✿to be continued✿

17 April 2023
syndrumy

Time On WednesdayWhere stories live. Discover now