Bab 1

9 2 0
                                    

Aku berjalan keluar rumah dengan seragam sekolah yang sudah rapi di tubuhku dan tas yang hanya kusampirkan di bahu kananku saja.

Tanpa berkata apapun, aku pergi meninggalkan rumah yang sunyi dan sepi. Hanya aku seorang diri tinggal di sana, tidak ada orangtuaku.

Setelah aku keluar dari gang rumahku, aku berdiri dipinggir jalan raya sembari menunggu angkutan umum berwarna biru yang siap mengantarkanku ke sekolah sesuai rute.

Beberapa menit berlalu, aku melambaikan tanganku sedikit ke depan agar sang supir angkutan umum tersebut mengetahui keberadaanku dan berhenti.

Sesuai harapan, angkutan umum tersebut berhenti dan mulai membawaku ke sekolah.

Sesampainya di depan gang sekolahku, aku turun dari angkot dan membayar.

"Ra!"

Sapaan itu membuatku menoleh dan kudapati teman seperjuanganku sejak SMP berjalan menghampiriku.

"Hai, Nda," sapaku balik lalu kita berjalan beriringan menuju sekolah.

Gadis yang memiliki rambut hitam dan selalu di kepang dengan hiasan pita merah itu memiliki nama lengkap Adara Claudya.

Kenapa aku memangginya 'Nda'? Yah hanya mengikuti lidahku saja. Cukup sulit memanggilnya Dara mengingat aku cadel untuk mengeluarkan huruf 'r'. Jadi aku memanggilnya 'Nda'.

Kali ini di tahun ajaran baru, aku dan Nda menaiki kelas 11 di SMAN 1 Januarta.

Sekolah negeri yang memberikan kebahagiaan untukku, alasannya karena ia mau menerima murid dengan beasiswa full hingga lulus sekaligus memberikan tunjangan hidup. Bahkan pemerintah kota kalah dengan apa yang diberikan SMAN 1 Januarta untuk murid-muridnya.

Aku dan Nda berjalan mendekati mading sekolah, di sana tertera nama murid yang akan menjadi satu kelas. Setiap kenaikan kelas, SMAN 1 Januarta memang memutar anggota kelas agar bisa saling mengenal satu sama lain.

Menurutku, sistem rolling hanya akan membuat masa SMA tidak seru karena kita pasti akan sibuk saling mengenal tapi tidak dengan membangun memori.

Kupikir, masa SMA-ku akan biasa-biasa saja sampai ketika tepukan Nda dibahu kiriku yang cukup kencang mengganggu atensiku dari mading sekolah.

"Apasih, Nda? Sakit tahu!" rintihku. Aku memang sosok perempuan yang sensitif bila disentuh oleh orang lain, sekalipun aku dekat sekali dengan orang itu.

Nda menatapku sedih, gadis itu seakan belum menerima. Dengan kesal Nda menunjuk lembaran ketiga dari papan mading membuat pandanganku mengikuti arah jari tangannya.

"Kita beda kelas. Gue ruang tiga, lo ruang satu," kesal Nda membuatku terkekeh.

Setidaknya aku dan Nda memiliki kesempatan satu kelas saat kelas 12 nanti, karena kelas 10-pun aku belum berkesempatan untuk satu kelas dengannya. Namun aku tetap bersyukur karena aku dan Nda tetap menjalin pertemanan sampai detik ini.

"Enggak apa lah. Masih bisa main bareng, kan?" tanyaku sedikit meringis takut salah kata.

Nda mengerucutkan bibirnya sambil menggeleng.

"Bukan itu yang gue maksud, Rara Indurasmi!" kesal Nda dengan nada bicaranya yang semakin tinggi membuatku menggelengkan kepala, tingkahnya selalu saja ada yang membuatku malu.

Segera aku menarik lengan Nda dan mengajaknya duduk di dekat kursi berbahan semen yang di seriap pinggir koridor sekolah disediakan.

"Apasih, apa?" tanyaku heran.

Tidak seperti biasanya Nda akan bersikap berlebihan seperti ini.

"Masalahnya lo sekelas sama Harsa, Rara." Nda memasang wajah sedih.

Sedangkan aku mengernyit, Harsa? Siapa? Cowok atau cewek?

"Harsa?" tanyaku bingung.

"Iya! Harsa Hadinata Chandra, Raraaaaaaa. Dia itu cowok yang terkenal ramah, baik hati, tidak sombong," jelas Nda membuatku semakin bingung.

Maksudnya apa? Tadi Nda kesal, kupikir Harsa adalah laki-laki yang menyebalkan dan tidak berperikemanusiaan. Tetapi setelah mendengar penjelasan Nda, aku menjadi terpekur sejenak.

"Jadi?" tanyaku singkat masih belum paham.

"Ya karena lo sekelas sama cowok impian gue, huwaa!"

Tatapan mataku berubah datar.

Seharusnha aku tidak mengulang kesalahanku, ketika aku sadar bahwa Nda tidak akan pernah mempedulikanku tetapi tetap saja aku menyayangi gadis itu.

"Hah, gue kira kenapa," jawabku sembari bangkit dari duduk hendak menuju kekelasku sendiri.

"Ra! Tunggu, aish! Bareng dong," teriak Nda setelah tersadar aku meninggalkannya setelah beberapa meter.

***

Aku meletakkan tasku di atas meja dan menelungkupkan wajahku. Kelas masih sepi dan itu wajar, aku tipikal anak yang lebih suka datang setengah jam lebih awal daripada datang lima menit menjelang bel masuk berbunyi.

Posisi dudukku sedari dulu tidak pernah berubah, aku selalu mengambil tempat strategis yaitu meja paling depan, antara baris kedua dari kanan atau kedua dari kiri.

Alasannya mudah, aku mencari tempat yang strategis.

Waktu semakin berlalu, tanpa sadar kelas mulai ramai hingga tanpa sadar bel masuk sudah berbunyi nyaring.

"Selamat pagi anak-anak," sapaan dari guru laki-laki mengalihkan pandanganku ke arah guru itu.

Aku baru sadar bahwa hanya di samping kursiku yang masih kosong sedangkan sekelilingku sudah memiliki teman sebangku.

"Perkenalkan saya Andraya Wisusilo, kalian bisa panggil saya Pak Andra. Dan saya yang akan menjadi wali kelas kalian selama satu---"

Tok!

Tok!

Tok!

Ketukan itu mengalihkan pandangan dari teman satu kelas ke arah pintu masuk, dan didapati seorang laki-laki dengan kacamata yang bertengger indah di wajah laki-laki tersebut.

"Harsa, tumben kamu terlambat?" tanya Pak Anda membuat Harsa menggaruk tengkuknya gatal.

"Biasalah ...." jawab Harsa sembari menyengir membuatku mengernyit aneh.

Cengar-cengir kayak orang bego -batinku bergumam sinis.

Pak Andra menggeleng, seperti sudah paham pria itu segera menyuruh Harsa duduk dibangku yang tersisa dan membuatku tersadar satu hal.

Itu cowok ... bakalan duduk bareng gue?

*APPRECIATE YOU*

TBC!

See u update selanjutnya.

Appreciate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang