"Sekarang bagaimana?" Sosok itu terkikik dengan nyaring. "Sudah seram belum?"

Jimin menahan tawanya, dia tidak bisa menahan rasa gemas setiap kali menatap sosok tersebut. Pipi yang tembam, ranum merah yang mungil, tubuh yang gembul, surai yang terlihat lembut, juga manik kucing yang selalu menatapnya penasaran adalah hal yang selama ini selalu membuat Jimin terpaku dalam kekaguman setiap kali melihat presensinya.

Dengan posisi tubuh terbalik dan menatap dirinya dari bawah seperti itu hanya semakin membuat Park Jimin kepayahan.

"Yoongi, andai aku bisa menyentuhmu."

Tangan Jimin perlahan bergerak menyentuh wajah hantu kecil itu, yang sayangnya hanya berakhir membuatnya terhempas dalam kenyataan.

"Selalu seperti ini." Jimin tersenyum dengan getir. "Kamu terlihat jelas di mataku, namun tidak tersentuh." Layaknya uap yang akan menghilang jika tertiup oleh angin.

Pemuda itu lalu menarik jemarinya kembali ketika menyadari hal yang dilakukannya hanyalah sia-sia. Tangan, bahkan tubuhnya selalu menembus setiap kali dirinya menyentuh Yoongi. Hanya hembusan angin yang dirasanya.

Jimin lantas tertawa, menggaruk belakang kepalanya meski tak gatal. "Ya, bagaimana lagi." Pemuda itu mengangkat bahunya acuh. "Padahal aku ingin sekali mencubit pipi gembulmu itu."

Yoongi, sang hantu kecil yang meninggal ketika dia berumur sepuluh tahun itu menatap Jimin tidak paham. Dia lalu memposisikan tubuhnya seperti semula dan duduk manis tepat di depan pemuda itu.

"Yoongi?"

"Iya?"

"Apa menjadi hantu menyenangkan?"

Yoongi lantas terdiam, hantu itu berfikir dengan simpel sesuai dengan usia dan pengalaman yang telah dilaluinya. Yoongi sebenarnya sedikit tidak suka ketika disuruh untuk menakuti manusia karena seperti yang Jimin katakan, dirinya tidak menyeramkan sama sekali.

Yoongi selalu gagal ketika mendapati tugas tersebut. Tidak ada satupun manusia yang takut pada hantu anak kecil sepertinya.

"Hm, Yoongi susah menjawabnya." Hantu itu memegang dagunya seolah tengah berfikir. "Ada hal yang menyenangkan, juga tidak."

"Tapi kalau bisa memilih, aku ingin menjadi manusia." Lanjutnya.

"Kenapa? Banyak hal yang tidak menyenangkan di dunia ini."

"Agar aku bisa menemani Jiminie!"

Ah, Jimin mengangguk paham. Sama seperti Yoongi yang hanya memiliki dirinya, Jimin pun tidak memiliki teman lain selain hantu itu.

"Kau benar Yoon, jika kita bersama, mungkin—" Jimin menghela napasnya berat." Mungkin saja kehidupan kita akan jauh sedikit lebih mudah."






















Jimin tertegun menatap mading di depannya. Dia meremat jemarinya kuat diantara riuh-nya para siswa. Ada yang senang ketika melihat namanya berada di urutan teratas, sebagian ada juga yang sedih, kecewa, dan kesal ketika mendapati namanya berada di bawah. Sedangkan beberapa ada yang tidak peduli dengan hasil pengumuman tersebut.

Nilai ujian akhir mereka telah keluar, dan nama Park Jimin berada diurutan kedua sebagai pemegang nilai terbesar kedua di angkatannya.

"Untuk pertama kalinya namamu berada di urutan kedua." Taehyung lalu melirik Jimin yang begitu fokus mengamati papan informasi tersebut.

"Hei, Jimin. Turun satu angka bukanlah akhir dari segalanya. Kau masihlah pemegang nilai terbesar di angkatan kita."

Jimin mengedikkan bahunya acuh, "Entahlah, mungkin persepsimu berbeda dengan orang tuaku."

Jimin lalu melangkah pergi, Taehyung lantas mengikutinya. "Berada di peringkat dua atau bahkan masuk sepuluh besar untuk aku sudah cukup. Tapi aku tidak akan setakut ini jika kedua orang tuaku memiliki pemikiran yang sama denganku."

"Ah, maaf. Aku lupa jika orang tuamu seperfeksionis itu." Taehyung lantas membuang napasnya kasar. "Apa karena waktu itu kau sedang sakit jadi nilaimu turun?"

"Hm, mungkin."

Meski begitu, Jimin ingat sekali ketika orang tuanya tetap memaksanya untuk belajar ditengah dirinya menahan rasa sakit.

"Sepertinya karena sedang sakit, membuatku sedikit kehilangan fokus."

"Kau belajar terlalu keras, setidaknya mereka harus memberikan waktu istirahat untukmu."

Terkadang, Taehyung tidak paham bagaimana Jimin bisa bertahan menghadapi perlakuan orang tuanya selama ini. Orang tua sahabatnya itu hanya sekedar bertanggung jawab memberikan fasilitas mewah dan pendidikan yang baik bagi Jimin. Diluar itu, mereka bahkan tidak pantas disebut sebagai orang tua.

Park Jimin, hanya sebagai bentuk investasi berwujud manusia bagi masa depan orang tuanya.

Remaja itu bahkan baru bisa pulang ke rumahnya pada pukul sembilan malam setiap harinya. Dia harus mengikuti berbagai les tambahan terlebih dahulu, yang jika Taehyung boleh jujur, mungkin dia tidak akan sekuat sahabatnya itu jika harus menjalaninya.
















Maka bukanlah hal yang aneh malam ini ketika pulang kerumahnya, bukan kabar yang mereka tanyakan melainkan hasil ujiannya.

"Apa-apaan ini Park Jimin!" Sang Ibu menyentaknya keras dan meremat kertas hasil ujiannya dengan erat. "Saya melahirkanmu bukan untuk mendapatkan hasil seperti ini."

"Ma-af, karena sakit aku jadi sedikit tidak fokus mengerjakannya."

Mendengarnya, pria payuh baya itu berdecih. "Lantas? Alasanmu sungguh tidak berguna."

Jimin meremat jemarinya dengan kuat, dia mengehela napasnya berat. "Aku berjanji ini yang pertama dan terakhir."

"Buktikan, saya tidak butuh janji." Pria payuh itu menyesap kopinya dengan santai sambil memandang anaknya yang berdiri dengan kaku di depan pintu masuk.

"Aku bekerja dengan sangat keras bukan untuk membiayai anak sepertimu. Kamu sekarang mulai malas, bahkan ini pertama kalinya nilaimu turun di peringkat dua."

"Aku minta maaf." Jimin memungut kertas hasil ujiannya yang sebelumnya ibunya buang. "Boleh aku ke kamar sekarang? Aku harus segera belajar."

Dari kejauhan, sesosok hantu kecil merengut sedih menatap punggung pemuda yang terlihat bergetar menahan rasa sakit.

"Jiminie..."

TBC
•••

Withlove,
Lebah.

MADE BY LOVE || MINYOON √Where stories live. Discover now