Di mobil dalam perjalanan menuju peternakan, Gabe menceritakan apa yang terjadi padanya semalam, dan sudah jelas Theo tidak percaya sama sekali pada ucapannya.
Tidak, sampai ia tiba di peternakan dan melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Secara geografis, peternakan kuda River Creek berlokasi di tepi kota Riverside, tepat di ujung kota. Semua warga tahu bahwa peternakan ini juga menjadi pembatas wilayah kota Riverside dan kota tetangganya, Antico.
Namun, daerah perkotaan Antico masih berjarak cukup jauh dari peternakan---ratusan mil jauhnya. Apa yang menjadi pemisah di antara River Creek dan permukiman penduduk kota Antico terdekat adalah hamparan padang rumput luas yang berbukit-bukit, serta bentangan tanah tandus di mana---sepengetahuan Theo---terdapat lokasi pertambangan yang sudah lama ditinggalkan bahkan sebelum Theo lahir.
Jadi bisa dibilang, peternakan River Creek terletak di tepi permukiman manusia; seakan-akan berada di ujung dunia. Sebab tak pernah ada orang yang punya cukup nyali berjalan kaki dari sini ke permukiman kota Antico terdekat. Akan makan waktu dua hari penuh.
Di tanah lapang milik peternakan, biasanya yang bisa Theo lihat ke luar wilayah batas kota adalah hamparan rumput hijau yang mengundak membentuk bukit. Bukit itu cukup tinggi hingga siapa pun tak bisa melihat apa yang ada di baliknya---kecuali dengan cara mendaki bukit tersebut.
Namun kini, saat ini berdiri di tepi pagar peternakan, yang Theo lihat bukit tinggi itu terlihat hitam legam.
Tak ada warna hijau yang tersisa. Rumput bagai telah terbakar habis, bau hangus dan sedikit kepulan asap menguar---menusuk indra penciuman, dan yang lebih mengerikan, bukit gosong itu tidak kosong.
Sesuatu bertebaran di sana, berwarna putih kusam kehitaman dalam berbagai bentuk, yang terdekat hanya berjarak setengah meter dari pagar pembatas area peternakan.
Mulut Theo membuka, tercengang. "Apa itu---?"
"Tepat seperti keliatannya," jawab Gabe lemas berdiri tepat di samping Theo, tahu apa yang temannya maksud walau tak menyelesaikan pertanyaannya. "Tulang belulang manusia. Aku sudah mengeceknya tadi."
"Ini gila! Dari mana semua tulang itu berasal dan apa yang terjadi di sini semalam? Apa terjadi kebakaran di bukit atau sesuatu?" Theo tahu bahwa bencana kebakaran adalah topik sensitif jika berbincang dengan Gabe, mengingat insiden tragis yang dialami keluarganya, tapi Theo tak merasa ada pilihan kata yang lebih baik. Bukit hangus itu tampak seolah baru terbakar---atau seperti baru dibom.
Untungnya Gabe tidak ambil pusing oleh ucapan tersebut. "Aku sudah memberitahumu di mobil tadi, Man! Semalam terjadi gempa saat aku hendak tidur, para kuda menjadi gelisah dan aku berlari ke luar pondok untuk menenangkan mereka, tapi saat aku berjalan sensasi aneh terjadi pada tubuhku---aku pingsan. Dan ketika terbangun, aku mendapati ini semua."
Theo berjalan menyamping di sekitar pagar untuk melihat kengerian di hadapannya dari sudut pandang lain. "Jadi kau tidak sadarkan diri semalaman tergeletak di luar pondok begitu saja? Tidak ada yang kau ingat lagi?"
"Aku bermimpi buruk, tapi itu tidak penting. Selain itu aku tak ingat apa pun. Aku terbangun, tercengang sepertimu melihat semua itu. Lalu aku ke kandang memastikan semua kuda baik-baik saja." Gabe terdiam sejenak sebelum lanjut berkata, "Setelah mengamankan para kuda, aku berjalan ke bukit memastikan pengelihatanku tidak keliru, kau tak bisa membayangkan bagaimana ngerinya aku menyadari kesemua itu adalah tulang manusia."
"Tulang manusia asli?" Theo memastikan.
"Ya!" tekan Gabe tak sabar. "Pertanyaan konyol macam apa itu, Bung? Itu semua bukan tulang mainan dari plastik. Tulang manusia sungguhan. Kau tidak bisa melihatnya dari sini, tapi di beberapa tulang itu masih ada darah dan daging yang menempel."
Buku halus di tengkuk Theo berdiri. Ia mengangkat kepala menatap puncak bukit. "Kau sudah naik ke atas sana dan mencoba mencari tahu apa yang ada di balik bukit itu?"
"Tidak," aku Gabe, terdengar malu. "Nyaliku tidak cukup besar untuk itu. Aku ketakutan setengah mati, yang aku lakukan hanya berlari ke pondok mencoba menghubungimu---soalnya aku tidak tahu siapa lagi yang harus aku hubungi. Saat kau tak menjawab panggilanku terus-menerus, aku memutuskan pergi mendatangi rumahmu."
Memikirkan reka ulang kejadian di kepalanya, Theo memaklumi rasa takut Gabe. Sial, Theo juga akan lari terbirit-birit jika ia yang mengalaminya. Di kepalanya Theo berusaha menguraikan misteri ini, alasan terjadinya semua perubahan ini. Hal terganjil yang dirasakannya semalam hanya gempa, tapi mana mungkin guncangan lempengan bumi menyebabkan seluruh bukit gosong dipenuhi tulang?
"Ada satu hal ganjil yang belum aku beri tahu," ungkap Gabe kemudian, keresahan tergambar jelas dalam suaranya. "Semalam, saat terjadi gempa sebelum aku pingsan, sesuatu hal aneh terjadi di langit, aku mungkin---"
Deru mesin mobil yang terdengar membuat Gabe menghentikan ucapannya. Kedua pria itu menoleh ke belakang, melihat mobil Ford Anglia hijau milik Livia melaju memasuki area peternakan. Gabe dan Theo saling pandang melihat rekan kerja mereka datang, dan Theo berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila setiap tahu gadis itu tiba.
Mobil itu berhenti, terparkir di samping mobil Toyota kelabu muda milik Gabe---aslinya milik Mr. Clinton, Gabe hanya diizinkan menggunakannya----di dekat gerbang masuk peternakan . Pintu mobil terbuka, dan Livia melangkah keluar. Wajah cantiknya tampak natural tanpa make up, rambutnya yang pirang panjang bergelombang tergerai manis.
"Hei!" seru Livia, melambaikan tangan pada Gabe dan Theo meskipun jarak mereka masih cukup jauh. Ada semacam raut cemas di wajahnya. "Apa kalian merasakan gempa tadi malam? Rasanya liar, bukan? Listrik di tempat tinggalku masih belum menyala sampai sekarang."
Livia terus bergerak mendekat, mata terfokus pada kedua rekan kerjanya. Kemudian saat berjarak tinggal tiga meter lagi gadis itu tampak baru menyadari gambaran besarnya: bukit mati di balik pagar kayu dan kawat. Sorot di matanya berubah dari netral, kebingungan, kesadaran lalu kengerian murni.
Kedua kelopak mata Livia membelalak lebar, kemudian satu tangan menutupi bibirnya yang menganga.
"Demi Tuhan," serunya agak histeris, teredam di balik tangkupan tangan. "Apa yang terjadi di sini?"
°°°
YOU ARE READING
In the Different Universe
Mystery / ThrillerCerita Dewasa | 18+ °°° Theodore Lambert meyakini bahwa hidupnya yang monoton takkan bisa lebih membosankan lagi. Mimpi besar yang bersarang di kepalanya mustahil ia kejar, realita memaksanya bertahan hidup di kota kecil menemani sang ibu yang makin...
