Caka mengembuskan napas beratnya. "Kamu udah muak sama aku?"

"Kamu egois, Kak. Kamu selalu paksa aku. Sekarang contohnya. Kamu selalu keras kepala, nggak pernah mau dengerin mau aku. Selalu aku yang harus dengerin kamu."

"Aku nggak paksa kamu ke sini tepat waktu, kan, Lan."

"Iya! Tapi sekarang justru kamu buat aku jadi penjahatnya dengan lihat kondisi kamu sekarang!"

"Aku nggak bisa fokus ikut kelas. Pikiran aku ke kamu terus. Jadi nggak usah peduli sama kondisi aku sekarang, ini keputusan aku." Caka menarik pundak Alana untuk menghadap ke arahnya. Caka menunduk, menghapus air mata Alana menggunakan tangan dinginnya.

"Maaf buat kamu capek. Aku harus apa? Kamu bilang."

"Hubungan kita ini sehat nggak, sih, Kak? Bareng kamu aku selalu bahagia. Tapi di lain sisi aku merasa sesak. Selama ini aku denial, aku berusaha baik-baik aja tapi nyatanya enggak."

"Terus sekarang mau kamu apa?"

Alana menggeleng, "Nggak tahu mau aku apa. Aku bingung. Yang aku tahu, aku capek banget."

"Dhaziell ngomong apa aja sampai bikin kamu berubah gini ke aku?"

Alana melirik Caka, "Nggak ada. Kak Iell nggak ngomong apa-apa!"

"Sebelumnya kita baik-baik aja. Tapi sejak semalam kamu berubah drastis. Kamu bersikap aneh nggak kayak biasanya. Kamu tahu aku nggak bisa kamu bohongi."

Alana bungkam. Ia menyingkirkan tangan Caka yang menahan pundaknya. Alana duduk lurus menghindari tatapan intimidasi Caka.

"Kalau kamu lupa, aku mau ingetin. Dulu aku pernah bilang kalau aku bukan orang baik. Kepala aku berisik. Aku rumit. Sama aku kamu bakal banyak sakitnya. Tapi kamu tetap mau masuk."

Caka terkekeh mengejek, "Jangan harap aku lepasin kamu. Nggak akan pernah!"

"Aku nggak minta kamu lepasin aku, Kak. Aku cuma mau kamu lebih ngertiin aku. Udah."

Emosi Caka melambung. Seolah apa yang Caka lakukan selama ini tidak ada artinya. Caka berusaha mengerti Alana, namun rupanya hal itu tidak terlihat. "Aku kurang ngertiin kamu apa? Bilang, Lan! Aku harus gimana lagi supaya kamu anggap ngerti sama kamu?!" sentak Caka.

Alana tersentak mendengar bentakan Caka. Tangisnya semakin deras.

"Selama kita berantem, kita selalu terbuka satu sama lain. Kamu bilang salah aku di mana, aku perbaiki itu. Dan kamu lakuin hal yang sama. Tapi sekarang kamu anggap aku orang asing, Lan. Bilang gimana caranya aku nggak panik dan takut sikap kamu kayak gini?"

"Terus tiba-tiba kamu bilang kalau kamu capek sama kita? Untuk pertama kalinya kamu lukain aku dengan ngomong hal itu, Lan."

"Fuck!" umpat Caka. "Lo mau gue habisin aja si Ziell yang udah rusak pikiran lo ini? Gue udah tahan diri gara-gara dia udah lo anggap abang. Tapi kalo cara dia cuci otak lo dan buat lo berubah gini, gue nggak bakal takut habisin dia!" 

Alana semakin sakit hati saat Caka merubah panggilannya, "Sekarang kamu ancam aku?"

Semuanya semakin runyam. Kepala Caka hampir meledak karenanya. "Mau lo sekarang apa?" bentak Caka hilang kendali.

"Bisa kalau ngomong nggak usah kasar? Aku nggak suka!" bentak Alana balik.

"Mau kamu apa? Bilang sekarang!"

"Nggak tahu," lirih Alana.

"Putus? Bilang aja kalau berani. Aku habisin Dhaziell sekarang juga udah buat kamu gini."

Alana menggeleng, "Nggak mau putus."

"Ya terus mau kamu apa? Bilang capek sama kita, tapi nggak mau putus. Kamu kenapa sih, Lan? Sengaja buat aku gila? Iya?"

"Nggak tahu ya nggak tahu! Aku bingung! Aku nggak tahu!"

Caka mengatur pernapasannya karena marah. Untuk pertama kalinya ia marah besar setelah tiga tahun hubungan mereka berjalan. Ia berdiri dan menyurai rambutnya yang setengah basah ke belakang. "Itu kenapa aku nggak suka kamu bareng Dhaziell. Akhirnya kamu kena perangkap dia juga, kan?"

"Aku berusaha buat tepis apa yang Kak Iell bilang. Tapi semalam pas aku tanya kamu, jawaban kamu tentang kamu cinta aku atau obsesi, kamu nunjukkin kalau keduanya nggak jauh beda. Aku... aku jadi ragu sama kamu, Kak Caka. Aku nggak mau jadi barang di mata kamu. Aku..."

"Jadi ini hanya karena jawaban aku semalam? Apa aku harus bohong sama apa yang aku rasain ke kamu? Mau itu cinta dan obsesi, peduli setan Alana! Yang aku tahu, aku sayang banget sama kamu, aku mau selalu jadi temeng buat jagain kamu, berusaha buat kamu aman."

"Jujur aja, Lan. Aku nggak mau pusingin hal yang nggak perlu." Caka marah, sampai-sampai matanya merah menahan air mata saking murkanya. "Atau ini cuma alasan kamu aja biar kamu bisa pergi dari aku? Kamu mau tinggalin aku kayak yang lain? Iya?!" tuduh Caka. Nadanya semakin meninggi.

"Enggak, Kak."

"Jangan harap. Kamu nggak bakal aku lepasin. Aku udah peringatin ini sejak awal. Menyesal sepuas kamu, aku nggak peduli."

Caka melangkah pergi meninggalkan Alana yang masih menangis tersedu-sedu. Langkahnya berhenti mendengar Alana berteriak nyaring, "Aku nggak mau ketemu kamu dulu! Jangan temui aku selama beberapa hari buat mikir aku harus gimana kedepannya ngadepin sikap kamu yang egois!"

"Terserah! Aku turutin mau kamu, tapi nggak untuk lepasin kamu. Camkan itu!" tekan Caka.

"Kak Caka nyebelin! Jahat!" isak Alana semakin keras menangis. Ia marah dan kesal kepada Caka yang begitu otoriter, namun meski begitu dia tetap khawatir takut Caka sakit karena dia sedang basah kuyup dan terlihat pucat.

- To be continued -

🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲🥲

Strawberry Cloud [End]Where stories live. Discover now