8. Dimas Syok

8.1K 883 6
                                    

"Assalamu'alaikum." Dimas melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, kemudian mendudukkan diri di samping ayahnya yang sedang sibuk dengan laptopnya.

"Wa'alaikum salam, sudah pulang bang? Gimana ngajinya?" tanya Ardi tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

"Ya gitu, biasa biasa saja. Ndak ada yang seru," jawab anak itu acuh.

"Ya sudah, lebih baik kamu ganti baju sekalian sama cuci tangan dan kaki sana." Perintah Ardi.

Dengan malas Dimas beranjak menuruti perintah sang ayah. Tapi baru beberapa langkah, dia berbalik dan kembali duduk di samping ayahnya. "Yah adek udah pulang belum?" tanya nya penasaran.

"Hm sudah, sana lakukan apa yang ayah suruh tadi!" usir nya namun Dimas tetaplah Dimas, putra pertama Ardi ini memang dikenal badung tapi pintar.

"Kata eyang uti di rumah eyang Rani ada calonnya om Satria ya yah? Gimana, cakep ndak?" tanya Dimas antusias.

"Ya lihat aja sana sendiri. Kok tanya ayah," ucap Ardi sewot.

"Ih ayah ini ditanya kok malah begitu, kan udah pernah ketemu jadi ya Dimas tanya lah. Ayah ini kenapa kok jadi sensi sih?" tanya Dimas heran, pasalnya tak seperti biasanya ayahnya ini tiba-tiba jadi sensitif macam wanita yang lagi pms saja. Dimas beranjak pergi dengan perasaan kesal karena tak mendapat jawaban dari ayahnya yang sedang sensitif itu.

"Ayah juga ndak tau bang kenapa tiba-tiba jadi kesal begini," gumamnya pelan sembari memijit pelipisnya.

Sejak pulang dari rumah bulik Rani, fikiran Ardi terus tertuju pada gadis yang katanya telah menyelamatkan putra bungsunya dari perundungan, Fanny. Ya, nama itu entah kenapa tak mau pergi dari fikirannya. Apa mungkin Ardi jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis itu?

Mengingat wajahnya yang cantik dan keibuan, tatapannya pada Daffa yang memancarkan ketulusan dan bagaimana dia dengan telaten mengusap tangan dan mulut Daffa dengan lembut sukses membuat Ardi kelabakan dengan debaran jantungnya. Ah memikirkannya membuat Ardi menggelengkan kepalanya keras, 'mikir apa kamu Di, dia calonnya Satria. Sadar Ardi!' batinnya mengingatkan.

Padahal selama ini banyak gadis cantik yang dijumpainya dan mencoba mendekatinya, tapi debaran yang menyenangkan itu tak pernah dirasakan nya. Dan ada pula yang mencoba dengan mendekati kedua putranya tapi keduanya tak begitu merespons, mungkin karena kedua putranya tau tak ada ketulusan yang mereka rasakan.

Apalagi ditambah panggilan dari sang sang buah hati pada Fanny dan sifat ceria sang anak sejak di rumah bulik Rani membuat Ardi bertanya tanya, apa yang dilakukan Fanny sampai membuat putra bungsunya yang pendiam dan pemalu menjadi ceria di pertemuan pertama, begitupun dengan dirinya. Tanpa Ardi ketahui, bahwa bukan kali pertama ini Fanny dan Daffa bertemu. Melainkan kedua kalinya.

Ardi menggelengkan kepala mengingat alasan mengapa Daffa terus memanggil Fanny dengan panggilan bunda. Putra nya itu kritis sekali pemikirannya.

Flashback on.

Ardi dan Daffa baru saja sampai di rumah mereka. Melihat Daffa yang masih murung padahal Ardi sudah memberi anak itu hadiah sesuai dengan apa yang dijanjikan nya sewaktu di rumah bulik Rani tadi, membuat Ardi menghela nafas.

"Daffa kenapa nak? Ndak suka sama hadiahnya?" tanya nya lembut.

Menggeleng, Daffa menjawab sambil menunduk, "Daffa cuka, telimakacih ayah." cicitnya yang di angguki Ardi.

"Lalu kenapa muka Daffa cemberut gitu? Daffa ingin pup?" canda Ardi berusaha menghibur putranya.

"Daffa ingin cama bunda." Deg! Jantung Ardi berdenyut mendengar permintaan putranya yang mustahil dia penuhi.

"Nak, meskipun bunda sudah tidak ada di samping kita tapi bunda selalu ada bersama kita dihati kita sayang, bunda akan selalu melindungi Daffa dari jauh," ucap Ardi tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Iya ayah Daffa tau kan Daffa tadi juga dilindungi dan ditolong cama bunda," jawab anak itu polos. Ardi mengerutkan alis mendengar ucapan sang putra.

"Bunda siapa maksud Daffa?" tanya Ardi bingung.

"Bunda Fanny, itu loh ayah yang ada di lumah eyang Lani tadi," jawab Daffa polos. Sontak jawaban polos sang anak membuat Ardi menepuk jidatnya konyol.

Dia kira Daffa ini ingin bersama bunda nya yang sudah meninggal, ternyata yang dimaksud sang anak adalah Fanny, yang sialnya orang yang berusaha Ardi tepis keberadaannya.

"Daffa, kenapa manggil kakak Fanny bunda? Kan kakak Fanny bukan bunda nya Daffa." Ardi mencoba bertanya hati hati.

"Kata ayah, bunda akan celalu melindungi Daffa, nah bunda tadi juga melindungi dan menolong Daffa. Jadi dia bunda Daffa kan?" pertanyaan konyol sang anak membuat Ardi kembali menepuk jidat, susah memang memberi tau anak kecil, fikirannya itu loh selalu tak tertebak.

"Daffa tau nama bunda Daffa siapa?" pancing Ardi.

"Bunda Hanum?" jawab Daffa sedikit ragu.

"Nah nama bunda nya Daffa kan bunda Hanum, bukan kakak Fanny. Kakak Fanny itu bukan bunda nya Daffa, jadi nanti jangan manggil kakak Fanny bunda ya nak," ucap Ardi memberi pengertian.

"Telus kalau kakak Fanny bukan bunda nya Daffa kenapa kakak Fanny melindungi dan menolong Daffa cepelti kata ayah kalau bunda akan selalu melindungi Daffa? Memangnya kakak Fanny ciapa nya Daffa?" tanya Daffa kebingungan.

"Kakak Fanny itu calon istrinya om Satria. Lagipula sebagai sesama manusia yang baik kita itu harus tolong menolong selagi kita mampu, mau itu yang kita tolong orang asing atau hewan sekalipun. Faham nak?" pesan Ardi yang tak sepenuhnya difahami Daffa.

"Intinya kita halus menolong olang dan hewan begitu ayah?" tanya Daffa memastikan.

"Iya kurang lebih begitu," jawab Ardi seraya mengangguk dan tersenyum.

Flashback off.

"Ayah!" Ardi tersentak dari lamunannya kala mendengar teriakan Dimas yang menggelegar. Dia segera beranjak menghampiri Dimas untuk mengetahui alasan mengapa anak itu berteriak.

"Kenapa bang? Manggilnya biasa saja kan bisa, kenapa mesti teriak?" tanya Ardi saat sudah sampai di depan Dimas yang kini sibuk memakan rainbow cake pemberian bulik Rani dan Fanny.

"Ayah kenapa beli kue seenak ini ndak ngajak abang?" protes anak itu.

Menghela nafas, Ardi menjawab, "ayah kira ada apa. Ayah ndak beli kue, itu semua dikasih sama eyang Rani dan calonnya om Satria."

"Eyang Rani? Eyang Rani mana tau kue ini, masak yang buat eyang Rani? Ndak percaya abang, ayah pasti bohong!" todong Dimas.

"Ya memang, yang eyang Rani buat ya cuma aneka kue kering itu, kalo cake ya calonnya om Satria yang buat," jawab Ardi malas.

"Owalah, kalo kata ayah gitu sih abang percaya. Berarti calonnya om Satria jago buat kue dong, abang jadi ndak sabar pengen ketemu. Namanya siapa ayah?" tanya Dimas antusias. Dimas ini memang walaupun badung tapi sesungguhnya dia penyuka makanan manis seperti bunda nya dulu.

"Ngapain kamu mau ketemu Fanny? Sudah mending di rumah saja jaga adek, jangan aneh aneh!" peringat Ardi ketus.

"Ayah ini kenapa sih, setiap abang tanya kok jawabnya jutek mulu," cibir Dimas.

"Ya sudah makanya jangan tanya ayah soal calonnya om Satria terus, ayah pusing." setelah berkata seperti itu Ardi beranjak pergi tanpa sadar kalau perkataannya membuat otak pintar anak sulungnya merangkai benang merah yang kusut atas perilaku aneh ayahnya sore ini.

"Jangan jangan ayah suka sama calonnya om Satria?!" Dimas membekap mulutnya syok atas pemikiran konyolnya yang sayangnya tanpa dia tau adalah benar.

*****

Tbc








Bukan Sembarang JandaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora