Caraka melanjutkan menyuapi Janitra. "Nggak masalah, masih dua bulan lagi. Masih punya banyak waktu buat jahit, Tra. Jangan dipermasalahin hal itu."

"Masalahnya modal gue udah nggak ada, gue nggak mau minjam ke nyokap atau bokap. Dari dulu juga gue pantang ngelakuin itu—meskipun mereka pasti bakal meminjamkan ke gue." Caraka tahu sikap Janitra yang satu itu, keras kepalanya dia mengenai uang. Janitra terlalu enggan dicap sebagai anak manja atau membuat susah orangtua sampai tidak sadar kadang dia begitu keras pada dirinya sendiri sejak dini.

"Lo bisa pakai uang gue."

"Nggak."

"Tra, sekali aja lo jangan keras kepala, nggak bisa ya? Kita udah berteman berapa lama, sih? Bukan sehari-dua hari, kan? Atau gue bisa bayar lo buat baju Aspire."

"Tapi kan perjanjiannya gue bakal endorse."

"Kondisinya kan sekarang beda?" suapan terakhir di piring. Janitra melahapnya. Caraka mendekatkan segelas air putih yang juga langsung tandas dalam sekali tegukan. "Kali ini sekali aja terima pertolongan dari gue, nggak ada yang salah kok buat menerima pertolongan orang lain."

"Gue nggak mau punya hutang budi ke orang lain, hutang uang bisa dibayar, kalau hutang budi?"

"Tra, hidup emang gitu, terkadang kita bergantung sama orang lain, terkadang kita harus terima kenyataan kalau kita sebagai manusia nggak bisa terus-terusan kuat. Ada kalanya kita butuh bantuan orang dan itu salah satu hal yang harus diterima." Caraka mengusap lengan Janitra. "Ngomong-ngomong, Anindita ketakutan banget waktu liat lo sakit, dia setakut itu kehilangan lo."

"Serius deh, lo masih percaya sama dia?"

"Tra, isi kepala kita ini nggak semuanya benar. Kadang ada skenario yang kita ciptakan sendiri buat memvalidasi emosi kita. Kenapa ada orang jatuh cinta tapi jadi bego? Karena kepalanya terus menciptakan skenario terbaik, sehingga dia terus melihat sisi positif dari orang yang dia suka meskipun hal yang dilakukan itu salah, tapi kenapa waktu benci bisa benci banget? Karena dia menciptakan skenario dalam kepala kalau orang itu selalu bersikap jahat. Padahal kan, nggak semuanya begitu?"

Janitra menggedikkan bahu.

"Kasih dia kesempatan, Tra."

"Nggak bisa, Ka, gue udah pernah nyoba, tapi tetap nggak bisa. Gue nggak bisa terima kalau nyokap dia penyebab rasa sakitnya nyokap gue."

Untuk kali itu, Caraka tidak bisa menjawab. Perihal menerima rasa sakit setiap orang tidak bisa dipaksa. Ada yang bisa langsung menerima, tapi ada juga yang butuh waktu bertahun-tahun untuk mencapai kalimat ikhlas. Caraka akhirnya terdiam, hanya keheningan yang selanjutnya menjadi latar belakang suasana di antara mereka berdua.

****

"Nia, dari kecil kamu membatasi aku buat ngasih uang ke Anindita, apa salahnya kalau sekarang aku berusaha menebus kesalahan aku?" Baru selesai dari satu permasalahan, Anindita sudah mendengar hal lain lagi yang seharusnya tidak dia dengar. Seperti keluar dari lubang buaya dan masuk ke lubang singa. Anindita masih berada di pintu rumah, belum menginjakkan kaki ke dalam karena mendengar teriakan ayah dan ibu tirinya yang baru saja pulang dari bandara.

"Itu perjanjian yang kamu buat kan, Mas? Keluargaku memberi kamu modal dengan syarat kamu berhenti menafkahi anak wanita sialan itu."

"Tapi dia juga anak aku."

"Anak yang kelahirannya tidak diharapkan. Ingat Mas, kamu itu dijebak, kamu jangan terlalu bodoh."

"Anindita nggak salah apa-apa. Dia nggak pantas jadi kambing hitam."

"Itu buah karma dari kelakuan ibunya."

"Tega kamu, ya?"

"Kamu aja bisa tega dengan aku dan anak aku."

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now