4

748 53 1
                                    

Aroma gurih dari masakan dan suara dentingan dari sepatula dan panci membuat Yui terbangun dari tidurnya. Setelah mengumpulkan nyawanya dan mengecek ponselnya yang ternyata wifi masih belum juga tersambung, Yui pergi ke asal aroma enak dan suara berisik itu.

Ternyata Karin sedang memasak.

"Yui-san," panggil Karin.

Yui yang sedang mengambil air keran dengan gelas menoleh.

"Kau ada alergi makanan? Seperti telur?"

"Memangnya kenapa? Kau pasti lagi membuatkanku sarapan kan?" Goda Yui. "Kok kau tiba-tiba berubah jadi baik sih? Ada maunya ya?"

Karin mendengus jengkel. "Tidak jadi."

Yui terkekeh. Kemudian mendekati Karin.

"Aku malah suka makan telur. Tapi aku tidak suka tamagoyaki. Aku hanya suka telur mata sapi yang kuningnya matang, tapi bukan yang benar-benar matang dan putihnya tidak kering. Kalau sedikit saja ada kuning telur yang masih cair atau kuning telurnya kering. Aku tidak akan memakannya."

"Cerewet." Keluh Karin, lalu menunjuk mangkuk berisi telur yang telah dikocoknya. "Aku sedang membuat tamagoyaki. Kalau kau tak mau memakannya itu bukan urusanku dan buat telur mata sapimu sendiri."

"Cih, bukankah kau tadi sedang menawarkan diri untuk membuatkanku sarapan?"

"Aku hanya bertanya kau alergi sesuatu atau tidak."

"Terserah kau saja."

Dengan perasaan sebal Yui beranjak dari dapur. Ia masuk ke kamar mandi. Mencuci wajahnya dan menyikat gigi. Setelahnya ia menghampiri ruang makan, sepiring telur mata sapi sudah berada di atas meja makan.

Ia duduk di kursi dengan memandang makanan itu dan Karin yang sedang menyantap sarapan ala Jepang nya secara bergantian.

Dia ternyata membuatkannya.

Senyum Yui tanpa sadar tersungging di bibirnya.

Tanpa banyak berkata karena perutnya sudah keroncongan, Yui pun menyantap hidangan di atas meja. Telur mata sapi yang dibuatkan Karin benar-benar digoreng secara pas di lidahnya. Sup misonya sangat enak dan menghangatkan. Makarel panggangnya tidak kering dan terasa manis. Sayur bayam wijennya sangat segar. Dan nasi putih yang dimasak tidak terlalu lembek.

Sepertinya wanita di hadapannya ini sering memasak.

"Kau pasti jago masak." Puji Yui, kenikmatan menyantap sarapan sederhana itu. "Siapa yang mengajarkanmu memasak?"

"Ayahku." Sahut Karin.

"Ayah? Biasanya ibu kan yang mengajarkan anak perempuannya memasak."

"Ibuku bahkan tidak terlalu pandai memasak. Ayahku sendiri juru masak."

"Oh ya? Apa ayahmu punya semacam kedai makanan atau restoran?"

"Ya. Restoran shabu-shabu."

"Di mana?"

"Osaka."

"Osaka? Bukan Tokyo?"

"Keluargaku tinggal di Osaka."

"Berarti kau orang Osaka? Tapi logatmu sangat Tokyo."

"Aku pindah ke Tokyo awalnya karena berkuliah. Terus aku kerja di sana sampai sekarang."

"Masa sih? Coba bicara pakai logat kansai dulu supaya aku percaya."

"Tidak mau."

"Hei ayolah, satu kalimat saja."

ColdWhere stories live. Discover now