11. Curhat

38 4 2
                                    

Masha pov

"Mashaaa...!"

Saya masih diam memandang Naresh yang berjalan kian menjauh dari saya. Sama seperti saya, dia tidak menoleh saat saya meneriaki namanya.

"Lo denger nggak sih dipanggil?"

Saya cepat cepat mengusap kedua mata saya yang berair sebelum menatap orang di sebelah saya.

"Iya mbak maaf."

"Lo tuh ketua tim. Yang fokus dong kalo kerja!"

"Lo tau, si Aji kerja nggak bener. Dia lo suruh handle properti tapi sampai jam segini belum dateng, lo yakin tuh bocah bisa kerja? Terus itu sound system juga suaranya ngang nging ngang nging bikin kuping pengeng. Elo bilangin tuh operatornya. Si Dewa juga, lo marahin kek kalo kerjanya males malesan. Lo tuh harus tegas sama mereka. Letoy banget jadi ketua tim gimana anak buahnya mau nurut kalo elo aja nggak ada tegas tegasnya."

Mbak Diva. Saya tau saya masih belum bisa sempurna menjadi ketua tim, tapi dengan dia mengkritik saya dengan suara amat keras seperti itu di depan umum bukankah terkesan berlebihan. Dia bisa kok mengkritik kinerja saya saat empat mata saja. Tidak perlu di depan banyak orang dan membuat saya menjadi pusat perhatian seperti sekarang. Semua orang melihat ke arah saya dan Mbak Diva. Mereka seolah mengasihani saya yang kena omel senior.

"Iya Mbak nanti aku tinjau satu satu." Kata saya mencoba menahan segala emosi yang bergejolak dalam diri saya.

"Nanti? Lo mau bikin ini semua tambah kacau? Lo pengen kita pulang jam berapa Sha? Shubuh?" Dia melipat kedua tangannya di dada dengan ekspresi wajah kesal yang dia tujukan pada saya.

"Ini aku berangkat. Mbak Diva sendiri gimana kerjaannya, udah beres?"

Dia langsung menatap saya tajam lalu tertawa hambar, "Lo nggak terima gue kasih masukan? "

"Nggak gitu, aku kan cuma nanya Mbak. Ini juga bagian dari job desk aku kan, nanyain kerjaan tim aku buat mastiin semua oke apa enggak. Kan tadi Mbak sendiri yang bilang."

"Nggak heran sih lo gen Z. Nggak ada sikap hormat sama yang lebih tua. "

Loh kok dia ngamuk sih. Kan saya cuma mau ngecek kerjaan dia seperti yang dia katakan. Kenapa dia mikir saya nggak ada sikap hormat sama dia.

"Sha!"

Saya menoleh ke arah yang lain. Disana ada Ann yang berlarian menuju ke arah saya membawa kardus besar entah berisi apa.

"Nih tolongin gue."

Bruk

Dia menyerahkan kardus besar di pelukannya pada saya. Saya sendiri sedikit kaget saat mengetahui beban dari kardus itu yang lumayan berat hingga saya terhuyung ke belakang.

"Itu bingkisan buat anak anak panti besok. Heran deh kok itu bingkisan malah datengnya sekarang bukannya besok, kan bikin repot ini bingung ditaroh mana. Elo bawa ke kostan elo deh entar daripada ditinggal di sini kececer atau ilang. "

Ann mengelap keringat di dahinya lalu menyambar air mineral yang kebetulan tersedia di meja dekat panggung, "Lo kan yang ngide undang anak panti. Nah tuh lo tanggung jawab. Gue mau ke sanggar mau cek gimana persiapan pengisi acaranya sama nih, gue mau mampir ke kantor balikin beberapa barang. Lagian lo tuh sok ngide undang anak panti. C'mon Sha, ini tuh acara orang kelas atas, lo nggak mikir gimana kalo orang tua anak anak sultan itu mungkin risih sama keberadaan anak panti? Gue rada gak setuju sih sama usulan lo itu. Tapi yah gimana ya, Pak Hendery udah acc. The power of secretary Masha kali ya, anak emas mah beda." Ann tertawa dengan menutupi mulutnya, "oke, gue cabut dulu ya. Oh iya sekalian gue entar langsung pulang jadi jangan cariin."

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang