10. Kita sama sama capek

48 6 3
                                    

Naresh pov

"Perkenalkan, dia Naresh Kalvari Andro, putra tunggal saya dan yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO Kalvari Group yang ada disini. "

Diantara tepuk tangan dan ucapan demi ucapan selamat dari para petinggi perusahaan ada gue yang kayak kesambar petir di siang bolong. Gue kaget banget gara gara Ayah memperkenalkan gue sabagai penggantinya di perusahaan ini. Gue beneran nggak espek kalau Ayah bakal ngelakuin hal ini. Gue kira hari ini gue diajak ke kantor cuma buat nemenin Ayah ketemu klien nggak taunya dia udah nyusun rencana gila ini.

"Naresh..."

Gue langsung sadar saat Ayah nepuk bahu gue.

"Selamat Mas Naresh." Ada seseorang salah satu petinggi perusahaan yang mengulurkan tangannya pada gue.

Gue masih belum meraihnya karena gue nggak mau gantiin Ayah sebagai CEO. Gue pelukis ya kali tiba tiba banting setir jadi CEO perusahaan kayak gini.

"Maaf sebelumnya, sepertinya ada mis komunikasi antara saya dan Ayah saya. "

Ayah dan seluruh petinggi perusahaan saling berpandangan.

"Saya akan menegaskan kalau saya tidak bersedia untuk menggantikan posisi Ayah saya sebagai CEO Kalvari group yang ada di Surabaya. Saya pikir kalian tau betul saya tidak memiliki kemampuan di bidang ini. Benar bukan? "

Gue emang sengaja natap mereka mereka yang sebenernya emang nggak suka sama keberadaan gue tiap kali gue main ke perusahaan Ayah. Mereka selalu natap remeh ke gue seperti gue ini cuma anak bos yang nggak bisa kerja dan cuma ongkang ongkang kaki. Ya emang bener sih gue nggak bisa kerja kantoran, tapi hanya karena gue nggak bisa kerja kantoran bukan berarti gue nggak bisa kerja lainnya.

"Posisi ini sangat penting dan menyangkut nasib banyak karyawan. Saya tidak ingin karena ketidakmampuan saya berakibat membuat banyak orang kesusahan nantinya. Untuk itu saya memohon maaf kepada Ayah saya serta seluruh petinggi perusahaan. Saya tidak bisa menjadi CEO Kalvari group. "

Gue menundukkan kepala gue sebagai permintaan maaf dan benar seisi ruangan menjadi gaduh. Setelah gue rasa cukup meminta maaf pada mereka semua akhirnya gue pergi dari ruangan itu.

"Nana, apa maksud kamu?"

Ayah nyusul gue yang menuruni tangga darurat. Sengaja gue pergi lewat tangga nggak lewat lift karena gue nggak mau aja ketemu karyawan lain.

"Apa lagi, aku nggak mau jadi CEO. Lagian apa sih pake ganti CEO, Ayah tuh masih muda masih sehat. Ayah bisa jalanin perusahaan sendiri, ngapain minta aku yang jadi CEOnya." Gue jalan cepet nurunin tangga dan sama Ayah juga ngejar gue di belakang.

"Justru karena Ayah masih sehat, Ayah bisa lihat kamu mimpin perusahaan. Lagi pula Ayah biar bisa fokus ngurus perusahaan cabang di Singapura."

Gue tersenyum miring. Lihat, mau seberapa jauh lagi Ayah pergi. Kenapa Ayah nggak pernah ngerasa cukup dengan apa yang dia miliki.

"Aku nggak mau. Ayah cari orang lain aja buat jadi CEO. Jangan aku, aku ini pelukis bukan pebisnis."

"Nana, kamu ini kenapa sih?" Suara Ayah mulai meninggi, "maksud kamu nolak itu apa?"

Gue spontan berhenti dengan tangan mencengkeram pinggiran pegangan tangga, "Ayah tau maksud aku. Ayah tau lebih dari siapapun. Apa aku harus jelasin ke Ayah?" Gue menoleh menatap Ayah yang berdiri lima anak tangga dari gue berdiri.

Sekian menit kami terdiam menatap satu sama lain.

Harusnya Ayah tau betul kenapa dari dulu gue nggak mau jadi penerus perusahaan yang dia dirikan.

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang