2. Pertolongan Pertama

11 1 0
                                    

Ariyana's POV 1

Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku. Kemudian dengan perlahan aku memaksa untuk membuka mataku.

Tapi, aku tidak bisa melihat apapun. Gelap. Tidak ada cahaya. Nafasku kian menderu.

Aku mendengar seseorang berteriak. Suara anak kecil. Mungkin usianya sama denganku. Dia berlari sambil memanggil ayahnya.

Tak berselang lama aku mendengar derap langkah seseorang menghampiriku. Rasanya ada angin yang melewati mataku.

"Nak, tolong panggilkan dokter." ucap suara itu. Ya, mungkin dia adalah ayah dari anak laki-laki itu.

Tanpa menjawab perkataan sang ayah, anak kecil itu berlari keluar dari ruangan ini. Mungkin tadi dia membalas perkataan sang ayah dengan anggukan.

"Ariyana, apa kau bisa mendengar suaraku?" ucapnya dengan nada panik.

"A-aku mendengar suaramu, tapi kenapa semuanya begitu gelap?"

"Ini dimana? Apa yang terjadi padaku?"

"Lalu kenapa Tuan memanggilku Ariyana? Apakah itu namaku? Tuan mengenalku?"

Tidak ada jawaban. Aku kembali mendengar suara langkah kaki. Mungkin itu adalah dokter yang akan memeriksaku.

"Mohon maaf, bisakah anda menunggu di luar sebentar, Tuan?"

Setelah itu aku hanya mendengar beberapa langkah kaki meninggalkan ruangan ini.

***

Taman Rumah Sakit

Rain's POV 1

"Rain, Ayah berencana akan memindahkanmu sekolah ke luar negeri."

"Tapi, Ayah, bukan maksud-,"

"Aku tahu kau akan menolaknya, ini demi kebaikanmu Rain."

"Ayah, hanya tidak ingin menjadikanmu anak yang tidak mampu menjaga pandangannya."

Ayah berjongkok menyesuaikan tingginya denganku. Beliau menatap mataku kemudian memegang pundakku dan menepuk-nepuknya.

"Ayah pernah mengatakan kepadamu tentang adab berbicara dengan lawan jenis bukan?" Aku membalas pertanyaan ayah dengan anggukan.

"Sekarang umurmu sudah dua belas tahun. Maka, inilah saat dimana kau harus belajar untuk mandiri."

"Ayah akan mengantarkanmu ke bandara. Kau akan tinggal bersama nenekmu di Indonesia."

"Tapi, Ayah, aku hampir lulus dari sekolah, kenapa tidak,-"

"Ayah tidak ingin mendengar protesmu."

"Ini demi kebaikanmu dan Ariyana. Rain sebentar lagi kamu beranjak dewasa."

"Sudah sepatutnya kamu menjadi anak yang mandiri. Besok pagi-pagi kita mulai mengemasi barang-barangmu. "

"Baiklah, Ayah, tapi aku punya satu permintaan."

"Jika Ayah mengabulkan permintaanku, maka aku akan menuruti kehendak Ayah."

"Selama permintaanmu itu baik, maka akan diterima."

"Izinkan aku untuk melihat Ariyana dan memotretnya, Ayah." Wajah ayah yang tersenyum seketika membuatku senang. Sepertinya itu pertanda baik.

"Aku hanya mengizinkanmu untuk melihatnya, tapi tidak untuk memotretnya." Ya, sekarang aku percaya tentang perkataan bahwa 'senyum adalah cara termudah membuat orang lain bahagia. Iya, benar. Bahagia sesaat menurutku. ~_~

"Ayah, please. Aku hanya ingin mengingat wajahnya. Siapa tahu suatu hari nanti aku lupa bagaimana rupanya."

"Rain, akan ada saatnya kamu kembali kesini dan bertemu dengannya."

"Ayah tidak ingin fokusmu terbagi, Rain." Aku ingin protes lagi, tapi dokter datang menghampiri kami.

***

Hari Keberangkatan Rain
Bandara Internasional

Rain's POV

Sebelum pergi ke bandara, sesuai janji ayah kepadaku, sebelum ke bandara, aku diizinkan untuk melihat Ariyana. Meski hanya bisa melihat lewat jendela aku cukup mendoakannya saja.

 Meski hanya bisa melihat lewat jendela aku cukup mendoakannya saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di bandara, ayah memelukku kemudian menepuk pundakku.

"Rain, jangan lupakan semua pesan ayah dan ibumu."

Aku mengangguk, "Ya, aku akan mengingatnya Ayah."

"Tolong jaga Ibu dan Ariyana, jangan lupa jaga kesehatan, Ayah."

"Itu pasti akan aku lakukan, Rain."

"Kau harus rajin belajar disana, jangan sampai menyusahkan nenekmu, mengerti?" Sekali lagi aku mengangguk.

"Ayah, boleh aku meminta satu hal lagi?"

"Ya, selama permintaanmu baik akan aku terima."

"Ayah harus menjaga diri dengan baik. Jangan sampai berniat melakukan hal yang mencelakai dirimu lagi." Ayah tampak terkejut mendengar ucapanku.

"Rain, kau-,"

"Ya, aku mendengar semua yang Ayah katakan kepada si penyelamat dengan jelas."

"Ayah, berjanjilah kepadaku untuk tidak lagi masuk ke lubang yang sama."

"Itu pasti, Rain. Aku punya satu nasihat untukmu, dengarkanlah."

"Baik, aku akan mendengarnya Ayah."

"Beginilah alur kehidupan, kita tidak pernah tahu musibah yang juga akan menimpa diri kita. Hari ini, mungkin anak kecil itu yang terkena. Entahlah, mungkin besok, nanti atau kapan saja kita yang mengalami sendiri."

"Berkali-kali Tuhan selalu memperingatkan diri ini untuk selalu taat. Berkali-kali juga Tuhan memberikan kesempatan untuk hidup dan bertaubat. Semoga nafas yang kita punya hari ini, bermanfaat dengan baik dan selalu dipergunakan dalam keridhaan-Nya."

"Apapun yang kamu lakukan di negeri orang, ingatlah selalu ada yang mengawasimu."

Ayah terdiam beberapa saat, dia menghela nafas, kemudian melanjutkan, "Jadi, Ayah harap kamu selalu berbuat baik dan menghindari kemaksiatan, dimanapun kamu berada. Paham maksud Ayah?"

Aku mengangguk. Kemudian ayah mengecek jam tangannya.

"Sudah waktunya kau berangkat, pergilah, Nak."

Sebelum pergi, aku cium punggung tangan ayah lalu memeluknya. "Rain pamit dulu, Ayah. Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumussalam warrahmatullah."

***

Sementara itu, di rumah sakit, para dokter berlari panik. "Apa yang terjadi padanya?!" ujar dokter itu sembari berteriak.

Leave me RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang