Dhaziell tergelak mendengar ucapannya sendiri. Dia kembali melanjutkan perjalanan. Mengendarai mobil dengan hati-hati agar tidak mengganggu tidur Alana.

❤︎❤︎❤︎

Tanggal merah, Caka bingung menghabiskan harinya ke mana karena awalnya ia berencana untuk mengajak Alana kencan. Sedangkan ia sudah tidak lagi bekerja di kafe karena kemarin adalah hari terakhirnya bekerja. Caka bosan dan menurutnya penghasilan di kafe tidak seberapa. Ia butuh menghasilkan uang lebih banyak.

Bukan ide bagus berada di rumah saat ibu tirinya libur bekerja. Pagi-pagi sekali Caka sudah mandi dan bersiap untuk pergi.

Padahal Caka sudah bersiap untuk keluar, namun dia justru melihat tatapan ibu tirinya yang tidak bersahabat saat dia hendak melewati ruang tamu. Caka tidak mau mencari keributan, dia hendak langsung pergi saja, tapi ibu tirinya justru berceletuk mengajaknya bicara. "Umur kamu sebentar lagi 18 tahun. Tidak ada niat pergi dari rumah ini? Mau sampai kapan numpang?"

Caka menjawab dengan pelan, "Tante mau saya keluar dari rumah ini kapan?"

"Secepatnya, sekarang kalau bisa."

"Kalau begitu beri saya waktu satu minggu. Ah, tidak! Tiga hari. Saya akan keluar secepatnya."

Senyum kemenangan di wajah ibu tiri Caka terbit, "Bagus! Untungnya kamu sadar diri."

Caka membalas senyum ibu tirinya. "Terima kasih sudah mau menampung saya selama beberapa tahun terakhir ini, Tante."

Tidak ada jawaban, ibu tiri Caka yang awalnya duduk di ruang tamu beranjak, "Tunggu di sini sebentar." Dia masuk ke dalam kamarnya.

Tak lama setelah itu, ibu tiri Caka kembali keluar dari kamar dan mendekati Caka. Ia menyerahkan sebuah buku tabungan kepada Caka, juga sebuah kunci dan kertas bertuliskan alamat. "Itu tabungan sisa pembagian warisan dari menjual tanah dan harta warisan Nenek. Dan itu adalah kunci apartemen. Tidak luas, tidak juga mewah, tapi sangat layak dan terbilang bagus. Lokasinya juga strategis. Saya membeli apartemen itu dari uang warisan. Sisanya ada di tabungan. Kamu bisa beli perabotan lewat uang itu."

"Oh, iya! Saya pilih apartemen itu karena saya tidak mau dapat sikap sinis dari ayah kamu. Saya tahu kalau membiarkan kamu yang memilih tempat tinggal, kamu pasti pilih yang tidak layak huni. Saya sudah beri sisa uang warisan dengan adil, kedepannya kamu tidak usah menagih uang warisan lagi."

Caka mengulum sebuah senyuman, "Terima kasih, Tante."

Tanpa menjawab, ibu tiri Caka meninggalkannya untuk ke dapur. Sedangkan Caka keluar seraya menatap buku tabungan dan kunci yang berada di tangannya.

Entah harus bersikap menyedihkan atau apa, namun Caka tidak marah atas sikap ibu tirinya barusan. Justru, saat ini Caka merasa senang. Karena meski terpaksa, untuk pertama kalinya ibu tiri Caka mempedulikannya. Anak yang tidak diharapkan ada di antara keluarga baru ayahnya. Perhatian kecil itu, meski ibu tirinya bersikap ketus. Tapi perasaan Caka justru terasa hangat. Apa akan seperti ini jika memiliki ibu? batin Caka.

"Gila lo senyum-senyum kayak orang gila?" sambar Saka yang duduk di kursi depan seraya memetik gitarnya.

"Iya, gue gila. Lo baru sadar?"

Saka berdecih. Caka menghampiri adiknya, dia duduk di sebelah Saka. "Gue mau pindah, lo bisa pakai kamar gue kalau mau. Bukannya lo lebih suka kamar gue?"

Saka menghentikan kegiatannya, dia menoleh ke arah Caka tajam. "Mau pindah ke mana lo?! Gue ikut!"

Caka tergelak, dia mengutis kepala Saka. "Lo jangan bantah Ibu terus, dan jaga Ayah baik-baik."

Strawberry Cloud [End]Where stories live. Discover now