"Kenapa dibeliin? Mahal banget itu."

"Anggap aja ucapan makasih karena lo udah nasihatin gue."

"Nanti uang kamu habis?"

Duh, Gusti, nih cewek polos banget sih. Caraka mencubit pipi Anindita. "Kalau habis ya dicari lagi. Ya udah main, gih."

"Makasih, ya!" Anindita terlihat kegirangan. Dia langsung berlari ke dalam, dia naik perosotan.

Seorang Ibu-Ibu melihat Caraka dengan ekspresi bingung. Caraka langsung menjawab. "Adik saya, Bu, aslinya masih 10 tahun. Badannya aja yang besar," kelakarnya dan ibu-ibu itu mengangguk.

Caraka berdecak, menyadari kebodohannya karena memperbolehkan Anindita main Playtopia. Matanya berkelindan mencari di mana bocah jadi-jadian itu berada. Rupanya dia sedang bermain dengan sekumpulan balita, meluncur di perosotan, berteriak kegirangan, melompat di trampolin hingga akhirnya jatuh ke dalam lautan bola-bola. "Beneran kayak anak monyet ternyata," bisiknya sambil geleng-geleng kepala.

Anindita asyik bermain hingga keningnya berkeringat, dengan napas terengah-engah, dia menghampiri Caraka sambil menyerahkan ponsel bututnya. "Tolong fotoin aku, dong?"

Tangan Caraka meraih ponsel Anindita, menghidupkan fitur kamera, tetapi kameranya terlalu butut untuk menangkap gambar. Ibarat kata, orang sudah melaju mengikuti zaman, Anindita seperti tejebak dalam suatu tahun yang tidak bergerak.

"Pakai HP gue aja, nanti gue kirim via Whatsapp." Caraka mengeluarkan ponsel, mengabadikan potret Anindita dalam beberapa kali jepretan. Gadis itu bergaya sambil melebarkan tangan.

"Udah?"

"Hm."

"Pegang HP aku dulu, ya, aku masih mau main. Kamu ikut aku, dong." Anindita menarik pergelangan tangan Caraka. "Fotoin aku lagi." Gadis itu menyejajarkan posisinya di tengah, di antara anak-anak kecil berusia lima tahun yang sedang bermain peran sedang berjualan kue. "Bagus?"

Jempol Caraka terangkat. "Permisi Abang, aku mau beli kue dong."

"Pesan belapa?"

"Satu aja."

"Pakai loti, nggak?" seorang anak cowok yang giginya ompong terlihat senang sekali di dekat Anindita. Caraka bergegas mengangkat ponsel, tidak ada yang menyuruhnya, tapi dia mengabadikan kembali Anindita dengan senyum ceria. Kalau bisa diberi kemampuan, Caraka ingin rasanya sekali diberi kesempatan hidup dalam kepala Anindita. Dia penasaran, bagaimana sudut pandang gadis itu ketika melihat dunia. Kenapa hidupnya seolah selalu penuh tawa dan warna?

****

Setelah satu jam bermain, Anindita akhirnya keluar dari bilik permainan. Raut wajahnya berbinar seperti kunang-kunang di tengah kegelapan hutan malam. Gadis itu mengulurkan tangan. "Ponsel aku?"

"Oh ya." Caraka memberikan ponsel Anindita. "Tolong kirimin foto-fotonya yang tadi, aku mau kirim ke Ibu."

Caraka bergegas mengirim semuanya. "Ih kamu juga fotoin aku diam-diam?"

"Foto candid namanya, Nin."

"Iya. Tapi bagus juga, kamu berbakat jadi fotografer."

"Makasih."

Anindita mengirim salah satu foto ke Ibunya.

Salah satu mimpi aku tercapai, Bu. Bisa main di perosotan bola-bola yang besar hehehe. Kalau Ibu ke Jakarta, aku ajak main ke malnya. Besar banget, Buuuu!! Kayak rumah Kingkong.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now