Namun, kala Alsa hendak berbalik pergi, suara pintu yang terbalik sontak saja menarik atensinya. Ia lekas menoleh, sudah siap untuk menyapa Bi Ajeng, sampai indra penglihatannya justru malah menangkap sosok laki-laki yang ingin ditemuinya berdiri di sana.

"Lo ... kenapa bisa di sini?" Adalah respons pertama Radya dengan suara beratnya yang terdengar sengau. Keterkejutan nyata tampak di sepasang netranya yang sayu. Wajah serta bibirnya lebih pucat dari terakhir kali Alsa melihatnya. Laki-laki itu memang sedang tidak baik-baik saja.

Belum sempat Alsa menjawab, seorang wanita paruh baya tahu-tahu saja muncul di belakang Radya dengan raut cemas. "Haduh, maaf Den, Bibi tadi lagi di kamar mandi soalnya," ujarnya. Alsa pun dapat langsung menebak bahwa ialah Bi Ajeng. Wanita itu kemudian menoleh pada Alsa sejenak, dan kedua alisnya pun segera terangkat. "Eh, ini siapa, Den? Pacarnya Den Radya, kah?"

Alsa seketika mematung di tempat. Dilihatnya Radya pun hanya geming selama beberapa saat, sebelum salah satu bibirnya tertarik sedikit. Dan yang ia lakukan setelahnya adalah meraih lengan Alsa untuk ia bawa masuk ke dalam rumah, bersamaan dengan satu kata yang lolos dari mulutnya, "Iya."

Bi Ajeng kontan saja tampak tercengang, begitu pula dengan Alsa yang tak menduga Radya akan mengiakannya begitu saja.

"Tolong bawain cemilan sama minuman ke kamar aku ya, Bi."

"I-iya Den, nanti Bibi anterin ke kamar, ya."

Saat melewati Bi Ajeng, Alsa membungkuk sopan seraya tersenyum kikuk, sebelum akhirnya ia mengikuti Radya yang terus menarik tangannya dengan lembut.

Radya rupanya benar-benar hendak membawa Alsa ke kamarnya yang berada di lantai dua. Sesungguhnya Alsa ingin menolak sebab kecanggungan pasti tak mungkin terelakkan. Dan lagi, apakah Radya sama sekali tak masalah memperlihatkan ruang pribadinya pada Alsa?

"Em, Bang?" panggil Alsa ragu-ragu saat mereka tengah menaiki tangga.

"Hm?"

"Ini ... gue beneran nggak papa ke kamar lo?"

Radya menoleh pada Alsa dengan mata yang menyipit. "Normalnya sih cewek-cewek bakalan takut kalau diajak ke kamar cowok berdua doang. Tapi lo bisa-bisanya malah nanya begitu ke gue."

"Maksudnya, gue nggak normal gitu?"

"Iya kali? Lo manut-manut aja gue bawa ke kamar gini." Jeda sejenak. "Ah, nggak. Lo bahkan berani datang ke rumah gue tanpa gue minta. Padahal, bisa lo liat sendiri, di rumah ini cuma ada gue sama Bi Ajeng."

Alsa kontan meringis pelan. Apa yang dilakukannya ini memang terlalu nekat, tetapi semuanya sudah terlanjur dan ia sama sekali tidak menyesal. "Itu karena gue percaya lo bukan orang jahat," aku Alsa, "dan ... g-gue khawatir waktu denger kabar dari Bang Ojan kalau lo ternyata sakit, setelah lo ngilang selama tiga hari ini."

"Ah, lo jadi kecarian gue ceritanya?"

"Ya gimana nggak, lo tiba-tiba ngilang setelah ngomong begitu di chat."

"... terus, jadinya lo mikir kalau gue cuma bercanda, gitu?"

"Ya menurut lo aja, Bang."

Kali ini Radya tiba-tiba saja menghentikan langkah, membuat Alsa nyaris saja menubruk punggung tegap itu. Tubuhnya kemudian berputar hingga mereka akhirnya berhadapan. Setelahnya, laki-laki itu mendaratkan telapak tangan kanan di pucuk kepala Alsa dan diusapnya sekilas. Kedua sudut bibirnya lantas tertarik membentuk senyum simpul.

"Tenang aja, soal urusan hati gue mana bisa bercanda," tukas Radya dengan intonasi langka yang tak pernah Alsa dengar sebelumnya. Lembut dan tenang bersatu padu di sana, hingga berhasil memancing debaran dalam dada. Jantung Alsa pun semakin menggila saja kala Radya kembali meraih lengannya, melanjutkan langkah menuju kamar laki-laki itu.

Through the Lens [END]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें