4

171 18 10
                                    

Hari sudah malam ketika Liam berkeras ingin mengantarku sampai ke rumah. Kami tidak saling bicara, semuanya menjadi canggung setelah apa yang baru dibicarakan di antara kami. Liam hanya berjalan di sebelahku dengan tangan dilipat di depan dada. Untuk sementara waktu, mungkin ini yang akan terjadi jika kami bertemu. Canggung.

"Terima kasih," ucapku pelan saat kami sudah sampai di depan rumahku. "Selamat malam."

Liam menatap wajahku penuh penyesalan kemudian mengambil kedua tanganku dan menggenggamnya. "Maafkan aku."

"Li...."

"Yang tadi aku kelepasan," kata Liam. "Kau tidak perlu memikirkannya."

Mataku memperhatikan segala sudut di sekitar sini, mencari kemungkinan ada yang mendengar atau mengambil fotoku dengan Liam. Tetapi tidak ada. Mungkin mereka sudah puas dengan fotoku dengan Louis tadi malam sehingga tidak beroperasi malam ini.

Aku mengangguk, "aku mengerti."

"Kau tidak mengerti. Kau dan aku akan tetap seperti ini jika kau masih mengingat-ingat kata-kataku tadi," tegas Liam. "Marz, tenang saja, aku tidak berniat mengubah hubungan kau dan aku saat ini dan sebelumnya."

"Apa?"

"Aku akan memendam perasaanku, selamanya," ucap Liam, yang lebih terdengar seperti gumaman. "Aku tidak mau membebanimu. Aku bukan Louis."

"Li...." Aku melepaskan tangan Liam dari tanganku dan menatap Liam sekali lagi. "Aku mencintaimu."

"Aku tau."

"Kau bilang kau mencintaiku juga."

"Ini cinta yang berbeda, Marz," balas Liam. "Mungkin yang ini berbahaya."

"Tidak masalah." Aku mencoba untuk tersenyum. "Aku suka dicintai."

"Marz...."

Aku hanya menggeleng kemudian memeluk Liam dua detik. "Selamat malam."

Kulihat Liam melambaikan tangannya sebelum menghilang dari depan rumahku. Aku buru-buru masuk ke dalam rumah dan bersandar di belakang pintu, memejamkan mataku. Memikirkan apa yang tadi Liam katakan, semuanya, membuatku semakin bingung. Ada satu saat dimana aku ingin melupakan hal yang sebenarnya tidak akan bisa kulupakan, dan saat itu ada sekarang. Dua sahabatku baru saja memberi kejutan yang sama dengan penyampaian dan akhir yang berbeda. Ah.

Aku terus memejamkan mata sampai suara bisikan Louis mengganggu telingaku. "Marzia, Marzia!"

"Lou?" Mataku menangkap Louis hanya memunculkan kepalanya dari balik dinding sambil tercengir. Apa lagi yang ia perbuat.... "Kau sedang apa?"

"Marz, kau benar-benar dalam masalah."

"Apa?"

"Habis mandi tadi, aku baru ingat aku tidak membawa pakaian ganti," cengir Louis seakan-akan tidak terjadi apa-apa, membuatku langsung melotot. "Aku tidak pakai baju, juga celana...."

"BODOH. Pakai pakaian lamamu!" pekikku sambil menghampiri Louis. Aku hampir melihat Louis telanjang jika aku tidak menghentikan keinginanku menendang Louis keluar. "Lou, kau sengaja, kan!"

Louis selalu seperti itu. Dia konyol. Dan itu sangat menggangguku terutama saat kami sudah mencapai umur kami sekarang. Melihat Louis tanpa busana sudah sangat biasa bagiku. Dulu. Delapan atau sembolan tahun yang lalu. Sekarang?

Louis menggeleng, "basah."

"Kau benar-benar menyebalkan. Tunggu di sana." Tanganku mendorong pintu rumahku dan sesegera mungkin datang ke rumah Louis. Di sana aku berharap akan bertemu dengan Lottie, atau Fizzy, dan bukan dengan orang tuanya. Mereka akan melarang Louis menginap jika tau ia telanjang di kamarku.

Tentu saja Louis sengaja. Ia bisa saja menghubungi adiknya untuk memberikannya baju. Rumah kami bersebelahan. Aku benci Louis.

"Marzia." Lottie dengan rambut silver-nya datang membukakan pintu dan tersenyum kepadaku. Aku tidak bisa ingat apa warna asli rambutnya. Tangannya menggenggam lenganku dan mengajakku duduk masuk sebelum aku sempat menolaknya. Dia tersenyum, "ada apa?"

Kakakmu telanjang. "Louis minta baju gantinya."

"Tentu saja. Dia sedang telanjang, kan? Louis sudah merencanakan semuanya dan memberitau semua orang di rumah," decak Lottie. "Tunggu di sini."

Sudah kuduga. Sangat terduga. Aku benci Louis.

Lottie kembali dan menyerahkan tas merah Louis yang sudah sangat lama ia pakai. Itu hadiah dariku saat kami masih di sekolah dasar, aku tidak tau apa yang membuatnya sangat menyukai itu. Aku bangkit dan menerima tas dari Lottie, "terima kasih."

"Maafkan Louis, kau tau, dia gila," kekeh Lottie sambil mengantarku ke depan. "Selamat malam, Marzia."

Aku mengangguk dan langsung berlari pulang ke rumahku. Rasanya hari ini benar-benar melelahkan dan aku tidak sabar untuk tidur. Aku hanya bisa berharap Louis tidak bertingkah malam ini karena itu akan sangat mengganggu.

Kulempar tas itu ke wajah Louis dan mendorongnya ke kamar mandi. Dia tampak cemberut karena tas itu benar-benar mengenai wajahnya dan menatap sinis kepadaku sebelum pintu kamar mandi tertutup. Omong-omong, Louis mengenakan handuk.

Aku sudah memejamkan mataku di atas tempat tidur ketika Louis keluar dan langsung berbaring di sofa, bukan disebelahku, tanpa melihatku. Ia hanya melewatiku dan memunggungiku dalam posisi miring.

"Lou."

"Ya?"

"Kenapa?"

"Apa yang kenapa?"

Aku terus memperhatikan punggungnya sambil terus berbicara, "kenapa di sana?"

"Tidak mau mengganggumu. Tidur, Marz," ucap Louis tenang. Louis yang tenang lebih mengganggu daripada Louis yang mengganggu.

"Bagus." Tidak, ini sama sekali tidak bagus. Aku tidak tau Louis benar-benar sadar kalau ia mengganggu, atau ia hanya akting. Louis akting seumur hidupnya di depanku, dan aku selalu tertipu.

Saat aku sudah mencoba untuk benar-benar tidur, suaranya masuk lagi dalam telingaku. "Marz."

"Apa?"

"Aku tau apa yang Liam bicarakan denganmu," gumamnya, membuatku diam sebentar. "Apa jawabanmu untuknya?"

"Aku tidak tau apa yang kau bicarakan."

"Aku bisa mendengar, Marz," ucap Louis lagi. "Obrolan kalian sebelum kau masuk tadi."

"Lou-"

"Selamat malam. Aku mencintaimu," potong Louis, lalu memejamkan matanya kembali. "Mencintaimu lebih dari dia."

Lagi, perkataannya membuatku membuka mataku sampai pagi untuk memikirkannya. Mendengar yang Louis katakan tadi membuatku mengingat apa yang Liam katakan juga padaku dan itu membuat pikiran-pikiranku tidak bisa dimatikan. Rasanya mungkin bangga diperebutkan oleh orang-orang seperti mereka, tetapi bukan itu yang aku rasakan. Ini seperti... Aku harus memilih satu dan mengorbankan yang lainnya. Liam benar, hubungan kami akan berubah. Kami bertiga tidak mungkin menjadi sahabat lagi. Logikanya, yang tidak kupilih akan mundur, pergi, dan aku tidak bisa mendapatkannya kembali. Itu sangat membebaniku, di tambah harus berada di antara obrolan penggemar Louis dan Liam jika mereka mengetahuinya.

Mungkin keputusan terbaiknya adalah jika aku sama sekali tidak memilih. Itu sangat aman. Semua akan kembali seperti dulu dan aku akan mencoba melupakan kejadian ini. Aku akan membiarkan mereka menghapus perasaan mereka kepadaku, dan akhirnya kami adalah kami yang dulu.

Tetapi, bagaimana jika nantinya aku yang menyukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya? Itu akan menjadi sebuah penyesalan.

Beberapa jam berlalu dan setelah itu aku memutuskan untuk membangunkan Louis karena dari luar terdengar suara bel yang ditekan terus-menerus.

----

Author's Note: Lama gak lanjutin huhuu. Dua minggu doang deng.. Gatau deh masi ada yang mau baca apa kaga:") Kalo baca vomments ya!

LILOWhere stories live. Discover now