2

222 24 9
                                    

Author's Note: Semua adegannya tolong di bayangin, jangan di baca doang. Soalnya agak ribet deskripsiin apa yang mereka lakuin dan gimana kondisi mereka kalo gak di bayangin. Takutnya gak ngerti...

--

"Selamat sore, Mom." Louis tersenyum pada Ibuku lalu langsung duduk di sebelahku. Liam yang mendengarnya memutar mata. Dia daritadi hanya duduk diam sambil memandangi kue di meja.

Entah mengapa Ibuku mengundang Louis dan Liam hari ini. Tidak ada di antara kami yang berulang tahun, atau sedang berbahagia. Ini hari yang benar-benar biasa.

"Liam, kau lapar, ya?" Ibuku melihat Liam memperhatikan kue dan langsung menyodorkan kue-kue ke Liam. "Makan saja."

Dari pertama melihatnya, Ibuku langsung menyukai Liam. Malah, ia menyuruhku menikah dengan Liam saja. Entah apa, mungkin sifat mereka yang juga sedikit sama yang membuat Ibuku menyukainya. Berbanding terbalik dengan Louis yang selalu membuat kegaduhan. Ibuku bukannya tidak menyukainya, hanya saja kadang merasa terganggu.

Liam menggeleng, "bukan lapar. Kue itu kelihatan menarik."

"Itu alasan, padahal dia mau," cibir Louis. Tangannya mengambil dua kue dan memberikan satu untukku. "Kumakan, ya?"

Sambil menunggu Ibuku bicara, kami makan. Selama Ibuku belum berbicara, kami tetap makan. Dan ketika akhirnya Ibuku memutuskan untuk bicara, kami berhenti makan.

"Aku meminta kalian kesini karena aku tau kalian sahabat Marzia," ucapnya. "Dan kuharap aku bisa mempercayai kalian."

"Memangnya kenapa?" tanyaku. Mereka memang sahabatku, lalu kenapa? Apa yang mau Ibu percayakan pada mereka?

Mata Ibuku menatap ke arahku, "aku harus ke Amerika."

"Mengunjungi Ayah?"

Ibuku mengangguk, "lebih tepatnya, merawat. Akhir-akhir ini kondisinya berubah-ubah dan itu membuatku khawatir. Aku akan menyerahkan Marzia ke kalian berdua, jika kalian bersedia."

"Jadi, aku harus tinggal di sini?" Louis tersenyum nakal ke arahku lalu menjulurkan lidah. Langsung saja kusiku perutnya.

"Kalian," jawab Ibuku.

"Mungkin aku tidak bisa tinggal selamanya, hanya akan menginap beberapa hari, pulang, kembali, pulang, dan begitu seterusnya," tanggap Liam, menaikan satu alisnya. "Tidak apa?"

"Jika keluargamu mengizinkan," senyum Ibuku pada Liam. "Terima kasih."

"Kenapa aku tidak ikut saja?" ujarku. Tetapi, jika resikonya harus berpisah dengan Louis dan Liam, aku lebih memutuskan untuk tinggal. Tetapi Ayahku sakit...

"Sudah kupikirkan, dan kuputuskan kau tetap tinggal," balas Ibuku. "Aku akan berangkat besok pagi. Aku tau aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, jadi harus ada yang menjagamu."

"Serahkan semua padaku," kekeh Louis. "Aku akan menjaganya 24 jam."

"Kuserahkan semua pada kalian," ulang Ibuku, kemudian bangkit dari sofa. "Aku harus pergi mengurus keperluan untuk besok."

"Selamat tinggal, Mom." Louis mengantar Ibuku ke luar rumah dan ketika ia kembali ke sini, Louis langsung menerkamku. "Kau akan tinggal denganku, Marz! Hati-hati saja!"

"Dan denganku juga," sahut Liam, yang kemudian bangkit dan masuk ke dalam kamarku. "Bukan denganmu saja."

Mereka berdua sudah biasa berada di rumah ini. Mereka tau semua sudut rumah ini dan mereka hafal tempat aku menyimpan semua barang di rumah ini. Dari lahir, rumahku di sini, itu yang membuat mereka sudah terlalu sering ke sini. Saat kecil, jika Louis ingin menginap, ia selalu datang sendiri tanpa diundang. Sedangkan Liam, aku harus memintanya berkali-kali agar dia mau tidur bersamaku.

LILOWhere stories live. Discover now