Sedari tadi Riri seperti merasakan lirikan dari beberapa orang yang berada satu lift dengannya. Namun berusaha dia abaikan, mungkin hanya perasaannya saja. Lagi pula Riri tidak mengenal mereka.

Percakapan teman-temannya mengalihkan perhatian Riri.

"Udah pakai mobil masing-masing aja, ribet banget dah. Denis sama Riri. Gue sama Bella ikut mobil Indra. Selesai. Nggak perlu ribet lah." Sinta mengedipkan mata pada Denis ketika mengatakan hal itu.

"Kok gue?"

"Masa Denis nya sendirian Ri, kasian kan jomblo." Sahut Indra.

"Lo baru pacaran dua hari belagu amat ya. Putus baru tahu rasa. Lagian gue bukan jomblo tapi single." Ucap Denis tidak terima.

"Mau dua hari, dua jam, ataupun dua menit. Status kita tetap beda. Lo jomblo dan gue nggak." Setelah itu Indra tertawa mengejek Denis. Bahkan Sinta dan Bella jua ikut tertawa.

"Ri, bareng gue ya, masa gue sendirian." Denis mengabaikan Indra, memilih berbicara dengan Riri.

Riri mengangguk saja, toh sebenarnya tidak ada bedanya.

*****

Riri menatap lalu lintas Jakarta yang sangat padat saat ini. Riri tidak tahu apa yang orang-orang pikirkan tentang dirinya saat ini. Bahkan Denis sedari tadi terus meliriknya.

"Kalau lo mau bicara sesuatu, katakan saja." Ucap Riri.

"Ehh..Hmm." Denis terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu.

Riri menatap Denis, mendesak Denis untuk bicara.

"Bicara Denis."

"Gue sebenarnya baru dengar ini 2 hari yang lalu.  Ada beberapa gosip yang gue dengar dari staf lain. Gue dengar Fellisa ngomong ke beberapa staf editing dan kru kalau Lo mantan istri pak Bayu." Ucap Denis pelan.

Riri memejamkan matanya, pantas saja beberapa staf kantor kedapatan sering meliriknya diam-diam. "Pasti dia nggak cuma ngomong itu aja kan?" Riri paham bagaimana watak Fellisa.

Denis tidak menjawab.

"Bukannya setidaknya gue harus tahu gosip apa yang menyebar tentang gue di kantor?"

Denis masih terlihat ragu, "Dia bilang lo ngerebut pak Bayu dari sepupunya."

Riri memejamkan matanya sebentar untuk menenangkan diri. "Lalu? Nggak mungkin sampai di situ aja kan?"

Denis meneruskan perkataannya, "Setelah bercerai lo masih berusaha mendekati pak Bayu."

Riri bahkan heran dengan dirinya saat ini, sebelumnya dia sangat takut untum menjadi bahan pembicaraan, namun sekarang hal itu bahkan tidak mengejutkannya.

Mungkin Riri sudah lama menyadari bahwa hal ini akan terjadi.
 

*****

Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai di unit apartemen milik pak Beni, walaupun jaraknya tidak terlalu jauh namun perjalanan di tengah kemacetan Jakarta di sore hari  tentunya tidak mungkin membutuhkan waktu yang singkat.

Ketik mereka sampai mereka disambut oleh pak Beni yang sudah 3 hari ini mengambil cuti untuk merawat istrinya yang baru saja melahirkan. Penampilannya cukup berantakan, tidak tampak seperti pak Beni yang biasa memimpin mereka. Namun binar bahagia itu juga terlihat di wajahnya, cukup menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini.

"Ayo masuk, Mumpung si bayi lagi bangun." Pak beni langsung mengarahkan mereka menuju ke ruang tengah. Terlihat mbak Desi sedang menggendong bayi sambil duduk, disampingnya ada anak laki-lakinya yang berusia sekitar 9 tahunan

"Duduk dulu aja. Pah, bikinin minum ya." Ucap mbak Desi pada suaminya. Pak Beni pun langsung menuju ke dapur.

"Mah, kapan adeknya bisa aku ajakin main bola?" Ucap anak laki-laki itu menatap adiknya.

"Adeknya masih kecil, lagian adiknya perempuan. Jadi diajakin main boneka aja."

"Nggak bisa gitu dong mah. Aku nggak mau main boneka." Ucapnya sambil memanyunkan bibirnya.

"Loh kok gitu, adeknya kan mau main bareng kakaknya." Ucap mbak Desi sambil mengusap kepala Ali.

Riri mendengarkan percakapan ibu dan anak tersebut.

"Lucu banget sih, kapan gue punya ya?" Bella memperhatikan bayi itu dengan berbinar.

"Harusnya lo nanya kapan Lo nikah dulu, baru nanya kapan punya bayi." Cibir Indra.

"Gue lebih pengen punya Bayi dibanding punya suami." Jawab Bella santai.

"Gue lebih pengen punya istri dibanding anak." Balas Indra yang dihadiahi tatapan tajam dari Bella.

Aneh sekali mereka ini, padahal mereka baru berpacaran tapi percakapan mereka tidak seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.

"Mbak Desi saya mau coba gendong, boleh nggak?" Pinta Sinta.

Mbak Desi menyerahkan Bayi nya dengan perlahan, "Boleh kok, hati-hati yaa. Ali minggir dulu Mama mau kasih adeknya ke tantenya dulu." Ucapnya pada anaknya yang masih menyandar di lengannya.

Sinta memandang Bayi di gendongannya dengan kagum, "Lucu banget sih."

"Diminum dulu ya." Ucap Pak Beni sembari meletakkan beberapa gelas minuman di depan mereka.

"Heran saya satu tim kreatif masa belum ada yang nikah selain saya." Ucap pak Beni duduk di samping istrinya.

Sepertinya pak Beni belum mendengar gosip tentangnya karena terlalu sibuk mengurus kelahiran istrinya.

"Kalian nggak ada yang mau gendong juga?" Pak Beni melirik mereka. "Riri mau coba gendong?"

Riri terpaku mendengar perkataan pak Beni.

Bisakah dia melakukan hal itu?

Dia sebenarnya merasa takut, tapi mencoba melawan rasa itu. Bukankah ini saat yang tepat untuk menghadapi traumanya.

Bukannya bayinya juga ingin Riri merelakannya?

"Iya pak." Ucap Riri mengulurkan tangannya mengambil bayi dari gendongan Sinta dengan perlahan. Ketika bayi itu sampai di pelukannya Riri sempat tertegun. Wajah kecil dengan mata indah itu menatap tepat ke arah Riri. Diusapnya tangan dengan jemari kecil itu. Mata yang berkedip-kedip itu menunjukan kemurniannya. Kelopak matanya yang terbuka mengedip beberapa kali.
Pelukan ini pernah diberikannya pada bayinya, sembari berharap bahwa dia juga akan membuka kelopak matanya.

Tanpa terasa air mata Riri mengalir ketika merasakan kehangatan dari tangan bayi itu. Sesak dirasakannya ketika bayi itu meraih tangannya. Riri kesulitan bernafas. Tangan tak kasat mata seperti mencengkram tenggorokannya. Dia tidak bisa.

Dia tidak sanggup merelakannya.

"Ri! Riri!" Denis menepuk pelan bahunya. Orang-orang di ruangan itu tertegun melihat Riri yang menangis.

Riri menatap mereka dengan pandangan bingung, dia sempat linglung sesaat. Air matanya masi menetes. Ketika Denis mbak Desi memberikannya tisu Riri kembali tersadar. Riri langsung menghapus air matanya dengan terburu-buru. Bagaimana mungkin dia lepas kendali di depan banyak orang.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Denis dengan cemas.

Riri mencoba tersenyum, "I'm Okay." 

Dia mengusap lembut pipi bayi itu, “Dia cantik. Sangat cantik.” Bayi itu menggerakan bibirnya. Melihat bayi ini Riri bisa membayangkan betapa cantiknya bayi miliknya.

"Ini mbak, kayanya dia lapar." Ucap Riri serak, menyerahkan bayi itu kembali ke pelukan ibunya.

Walaupun Riri mengatakan dia baik-baik saja namun mereka semua tahu bahwa Riri tidak baik-baik saja. Terlihat sekali mata Riri yang terlihat tidak rela ketika melepaskan bayi itu.Senyum yang ditampilkannya terlihat sangat kaku.

Riri menatap kedua tangannya, masih merasakan sisa kehangatan yang ditinggalkan oleh Bayi itu.

Jadi seperti ini rasanya.

 **

Jangan Lupa Vote dan Komen, Ya!!

Jum'at, 24 Februari 2023

Bekas LukaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora