"Zaman orde lama dulu, tepatnya waktu Indonesia dipimpin sama Bung Karno, beliau anti banget tuh kalau ada masyarakat atau radio setel lagu The Beatles, bisa dicap imperialis dan nggak nasionalis. Kakek gue dulu anak band, cinta banget sama The Beatles, waktu itu tahun 1960-an, dia pernah jalan-jalan ke bioskop pake celana ala The Beatles ... eh ternyata ada polisi patroli, celana Kakek dimasukin bir lewat bagian bawah, kalau birnya nggak bisa masuk bakal digunting di tempat sampai sepaha karena dibilang celana jengki alias celana yang juga hits karena dipake sama The Beatles."

"Ya ampun sampe segitunya?"

Caraka mengangguk. "Pernah dengar Koes Plus Bersaudara?"

"Ehm-hm, Ibu sering nyanyi lagunya kalau lagi di perahu, yang gini kan bukan lautan ... hanya kolam susu ... kail dan jala cukup menghidupimu ... tiada badai tiada topan—"

"Oke cukup, mending lo makan aja daripada nyanyi."

"Iih, jangan jujur gitu dong." Anin tertawa ngakak. "Oke lanjutin ceritanya, kenapa sama Koes Plus?"

"Koes Plus pernah ditangkap perkara pernah tampil nyanyiin lagunya The Beatles."

"Serius?"

"Makanya lo beruntung bisa dengar masterpiece ini, tanpa harus dihantui bakal dipenjara atau dituduh nggak nasionalis."

"Bener juga." Anin mengangguk setuju. "Selain Koes Plus, apa lagi lagu favorit kamu?"

"The Tielmans Brothers."

"Siapa tuh? Aku baru dengar namanya. Delman? Mereka main musik sambil naik kuda. Aduhhh, sakit ih. Lama-lama aku pitak, nih." Anindita meringis begitu Caraka menyentil keningnya yang untungnya tertutupan poni. Jika tidak, mungkin sudah memar. Dasar tidak berkeprimanusiaan.

"Mereka tuh legenda, pencipta genre rock n roll pertama di dunia dan mereka asal Indonesia. Mereka udah ada, jauh sebelum The Beatles tercipta bahkan kalau liat cara manggung itu sama persis kayak The Beatles."

"Keren bangeeet." Anindita berseru heboh sambil bertepuk tangan. "Kamu juga keren bisa jadi manajer band kampus."

"Kok tahu?"

"Iya, kemarin wajah kamu tampil jadi materi pengenalan kampus. Katanya mahasiswa kebanggaan fakultas. Keren banget, sih. Bangga, deh. Pokoknya te o pe be ge te." Anindita mengacungkan jempolnya.

Caraka sudah sering mendengar pujian, tapi entah kenapa kali itu dia tersenyum lebar. Pujian yang disampaikan Anindita terdengar tulus tanpa pretensi apa-apa atau maksud tersembunyi dengan memuji.

"Keren-keren gini tapi kasian euy," Teh Yati menimpali, "kasian masih jomblo." Mendengar celetukan Teh Yati yang bersamaan dengan Caraka menyesap kopinya, alhasil cowok itu tersedak.

"Masa sih, Teh? Kasian cup-cup-cup." Anin mempuk-puk kepala Caraka dengan ekspresi konyol. "Mau bantu dicariin nggak nih?"

"Udah buruan berangkat yok, mau gue tinggal lo?"

*****

Anin tidak berangkat dengan Caraka, cowok itu menurunkannya di halte dan memberitahu rute agar Anin sampai ke kampus. Untungnya dia tidak terlambat, dia datang tepat ketika mahasiswa disuruh untuk berbaris agar bersiap memasuki auditorium. Anindita sempat menangkap Janitra, rupanya dia sudah datang dan menatapnya penuh kedengkian. Rasanya ingin sekali Anin bilang, "jangan marah-marah, nanti cepat tua, lho!" tapi tentu saja itu tidak mungkin dia lakukan. Itu hanya akan membuat Janitra semakin marah.

"Buruan dong! Lama banget, sih!" Janitra berteriak tepat di depan telinganya sampai telinga Anin rasanya berdenging.

Dasar nenek lampir!

Cita Cinta CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang