1. Sosok Damian

25 16 10
                                    

Damian Juliusta.
Remaja muda yang berdarah panas. Ia menjadi deretan siswa yang sudah pasti dikenal oleh semua kalangan di sekolah. Entah dari alasan karena buku pelanggarannya yang hampir penuh atau karena ia menjadi top ten dalam ekskul basket di sekolahnya.

Mottonya 'family friendly' yang sering ia gunakan untuk memasuki circle pertemanan manapun yang ia mau.

Sekalian jadi gudang info maksutnya.

Tapi dari semua kalangan siswa, satu pemikiran yang sama terhadap Damian adalah orang bego yang sering mengaku sebagai atheis.

Mereka bertanya, bagaimana konsep dan konteks seorang kristiani mengaku sebagai atheis ? "Kalau jadi atheis kenapa masih menjadi anak Tuhan Yesus?" Pertanyaan ini sering dilayangkan kepada Damian.

"Menjadi anak Tuhan Yesus hanya sebagai penghormatan kepada keluargaku yang kristiani. Aku mengaku athetis, karena sampai sekarang tidak pernah melihat kuasa tuhanku. Hanya ada yang sebaliknya." jawab Damian yang membuat pikiran si pihak bertanya semakin rumit.

Dibalik pengakuannya yang sering membuat orang menganga. Damian masih menjalankan kewajiban beribadahnya dan tetap menjalankan perintah dan larangan tuhannya.

Menjadi seorang yang bisa berbaur dengan hampir lima puluh orang perharinya, membuatnya menjadi pribadi yang ahli dalam bersosialisasi dan menempatkan sifat pada tempat yang tepat. Tidak sering ia juga merasa kesepian karena ia hanya berbaur dengan mereka, tidak sepenuhnya berteman dalam arti yang sebenarnya.

Namun sejak seseorang mengoloknya, "Wibu ini emang wibu pasaran." Seseorang itu menjadi pusaran yang terus berputar di kepala Damian.

*****

"Damian!"

Gebrakan keras memecah keheningan di dalam kelas. Damian mengerjap, mengedipkan mata untuk mengerti situasi yang sedang menimpanya.

Semua mata menuju kepadanya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Jadi, semenjak tadi ia melamun?

"Kalau suka itu bilang." Perkataan itu mengundang sorakan teman teman sekelasnya. Bahkan beberapa ada yang berteriak "Sulitt sulitt!"

Ha? Memang apa yang sulit?

Damian mengerutkan kening sambil menatap gurunya yang tiba tiba berkata seperti itu. "Maksutnya, Pak?"

Pak Adi berdehem sebentar, "Kamu daritadi ngeliatin Zahra. Saya paham kamu remaja yang sudah waktunya puber. Tapi..." Bibir guru muda itu membentuk seringai. "Beda agama."

Sorakan terdengar lagi, seperti suporter bola.

Memang benar yang dipikirannya tadi adalah seongok Zahra yang sekarang memberinya ekspresi seperti patung moa. Tapi tidak seperti ini situasinya.

"Apasi? Saya punya mata, terserah saya mau liat siapa." ucap Damian yang mulai risih. Apalagi tatapan Zahra sangat mengganggunya.

Tatapan yang datarrr sekali.

"Heh, Zahra! Jangan diem aja, anjir!" pelotot Damian yang sudah mulai terpojok dengan sorakan teman temannya.

"Jangan ngomong sama aku ya! Ntar tambah suka, bego!"

Jancok. Kata itu Damian lontarkan dalam hati. Zahra ini memang makhluk yang agak-agak sinting. Di situasi yang menyudutkan dia pun dia masih bisa menjadi antagonis juga?

"Heh, kalo ditolak ga boleh nangis!"

"Gaboleh depresi juga, Mimi!"

Cibiran imut dari Elvin yang duduk disebelahnya membuat ia semakin menbARARGH. Otaknya panas sampai ad semburat merah di pipinya.

"Diem, setan!"

After We Meet [ON GOING] Where stories live. Discover now