*****

"Lari ... ayo lari. Lembek banget sih!" teriakan Janitra menggema dari belakang membuat para maba pontang-panting menyamakan ritmenya. "WOY, GUE BILANG LARI YA LARI. MALAH JALAN SANTAI!" Anin merasa jantungnya seperti melorot ke perut begitu mendengar suara Janitra tepat di sebelahnya.

"I ... iya Kak! Siap!" Anin berlari sekuat tenaga. Mereka dikumpulkan di sebuah lapangan, ada beberapa Kakak Tingkat lainnya yang sudah berkumpul di sana. Menatap mereka dengan tatapan beringas seperti binatang buas siap menerkam mangsa. Mangsanya adalah adik tingkat di hadapan mereka.

"Kamu!" Janitra berhenti di sebelah Anin. "Tali pinggang kamu mana?"

Anin baru ingat kalau dia lupa memakai tali pinggang.

"Mana?"

"Lupa, Kak."

"LUPA? KAMU BILANG LUPA?" Janitra mengelilingnya. "Enak ya bilangnya lupa! Tata tertibnya nggak dibaca? Buta lo? Sekarang juga lari keliling lapangan 15x."

"Jan," seorang temannya terlihat tidak setuju.

"Kenapa? Mau ditambah? Oke, jadi lo keliling lapangan 20x! Sekarang!" Janitra mendorong Anin menjauh dari barisan sampai tubuh mungil gadis itu nyaris saja terhuyung jatuh kalau kakinya tidak menapak ke depan untuk mencari keseimbangan. "Buruan!" Mendengar teriakan Janitra menggema, Anin kontan terhuyung-huyung langsung berlari. Sesuai dengan apa yang diperintahkan; 20 x putaran.

Selama berlari, Anindita merasa jantungnya seperti mau meledak. Matahari terasa begitu terik. Dia berhenti sejenak untuk menyelaraskan ritme jantungnya, tapi teriakan Janitra kembali menggema dan memaksa Anin terus berlari tanpa henti. Akhirnya setelah terengah-engah, Anin berhasil menyelesaikan hukumannya. Gadis itu berniat duduk, tapi Janitra memergokinya. "Siapa yang nyuruh lo duduk? Sana, masuk ke barisan. Asyik-asyik banget lo duduk sementara yang lain berdiri!"

Kaki Anindita terasa keram. Urat-urat ototnya seolah saling beradu dan menekan, tapi dia sadar kalau dia bilang, yang ada Janitra akan semakin marah. Dia hanya memancing singa untuk menerkamnya bulat-bulat. Jadi gadis itu memilih untuk tetap berdiri sambil menggigit bibir, menahan kakinya yang terasa sakit. Saking sakitnya, bahkan ketika ada acara Club Exhibition, Anindita memilih untuk istirahat saja di kelas. Kakinya sudah tidak kuat untuk berjalan lebih jauh lagi.

****

Suasana kantin di Fakultas Ekonomi di saat makan siang terlihat ramai, Janitra memutar bola matanya untuk mencari kursi dan akhirnya menemukan satu-satunya kursi yang kosong adalah kursi milik Caraka. Janitra menghampirinya. "Sendirian aja? Gue sama teman-teman gue duduk sini ya, eeeh sini woy!" Janitra melambaikan tangan ke teman-temannya, tanpa meminta persetujuan Caraka apakah dia setuju atau tidak. Tipikal Janitra, untungnya Caraka sudah memahami di luar kepala.

Teman-temannya terlihat canggung. "Nggak apa-apa, nih?" tanya Tina sembari melirik Caraka dengan kikuk.

"Yaelah, nggak apa. Nggak ada kursi juga, kan, tenang Caraka jinak kok! Nggak apa, kan, Ka?"

Caraka mengangguk pelan, teman-temannya yang lain bergegas duduk. Kapan lagi mereka bisa seduduk dengan Caraka. Di kampus, Caraka itu tipe yang untouchable, orang-orang segan untuk dekat-dekat. Pertama, mereka bingung harus membahas topik apa. Kedua, mereka takut mengganggu. Di antara segudang kesibukan Caraka, waktu istirahat pasti sangat dia butuhkan.

Alhasil para anak di kampus memilih memandangi dari jauh daripada mengajaknya mengobrol. Hanya Janitra, satu-satunya anak yang bisa berteman dekat dengan Caraka, selain para personil Aspire tentunya. Itu pun karena memang mereka sudah dekat sejak kecil. Ditambah lagi, Janitra tak kalah pintar dengan Caraka, mereka selevel dan sekubu.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now