Part 6 Jasmin

969 201 10
                                    

Keyakinan di hati Bia sudah mantap ketika turun dari mobil. Al Biru memaksa mengantarnya ke kamar dan tak melepaskan tangannya dari genggaman pria itu sepanjang perjalanan menyeberangi lobi hotel yang luas, di dalam lift dan melintasi lorong pendek menuju kamar yang sudah tiga hari ini Bia tempati.

Awalnya Bia hanya memesan kamar regular, tetapi entah bagaimana Al Biru mengetahuinya dan pelayan hotel membawanya ke kamar terbaik di hotel ini. Yang ternyata adalah salah satu hotel milik pria itu.

Al Biru hanya mengantarnya sampai di depan pintu. Karena tak yakin pada apa yang akan dilakukannya terhadap Bia. Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk bersabar. Hingga hari itu tiba.

Ck, belum pernah ia menahan diri terhadap apa yang diinginkannya. Terkadang ia bersenang-senang dengan wanita yang diinginkannya tanpa perlu menunggu. Semua wanita yang diinginkannya, selalu menginginkan dirinya lebih besar. Tetapi dengan Bia, ia merasa keinginannya terhadap wanita itu lebih besar, sehingga tingkat kecemasan akan kehilangan wanita itu pun sama banyaknya. Setiap langkah yang diambilnya untuk mendekati wanita itu selalu dilakukannya dengan hati-hati. Khawatir jika ada sedikit kesalahan, akan membuat Bia berubah pikiran terhadap kesepakatan mereka.

"Al?" Suara feminim yang memanggil dari arah samping menghentikan langkah Al Biru yang tengah melangkah menuju pintu keluar hotel. Pikirannya benar-benar dipenuhi oleh Bia sehingga ia pun tak sadar sudah sampai di lobi hotel.

"Jasmin?" Kening Al Biru berkerut menemukan wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang yang dicat warna mauve tersebut melenggang ke arahnya. Senyum manis dengan kedua lesung pipi dan mata berwarna madu tersebut mengiringi setiap langkah anggun wanita itu. "Kau di sini?"

"Ada makan malam dengan klien." Jasmin mengangguk. "Kau?"

Al Biru hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya. "Cerita yang panjang."

"Hmm, kalau begitu ... segelas anggur?"

Al Biru tampak mempertimbangkan sejenak saat melirik jam di pergelangan tanganya. "Boleh."

***

"Jadi, kau benar-benar akan menikah?" Jasmin mengulang pertanyaannya. "Aku bahkan tak tahu kau sedang berkencan dengan seorang wanita, dan sekarang kau tiba-tiba akan menikah dalam dua minggu."

Al Biru hanya mengedikkan bahu sambil menjawab dengan seulas senyum tipis.

"Kau benar-benar sudah gila, Al. Kalian bahkan tak saling mengenal."

"Kami sudah."

"Hanya beberapa kali pertemuan."

"Jatuh cinta saja bisa pada pandangan pertama. Kenapa tidak bisa menikah setelah beberapa kali pertemuan?"

"Tapi kau belum benar-benar mengenalnya."

"Kami akan saling mengenal seiring berjalannya waktu."

"Bagaimana jika gagal?"

"Bagaimana jika berhasil?"

Jasmin memutar bola matanya dengan jengah demi menutupi kecewa yang sempat melintas di kedua matanya. Argumennya dengan mudah dipatahkan oleh Al Biru, meski dengan jawaban yang setengah bercanda, jelas itu adalah keseriusan.

Al Biru terbahak.

"Kau yakin dia mau menikah denganmu karena tak memiliki tujuan tertentu? Kudengar perusahaan papanya akan bangkrut, ditambah pemberitaan tentang kedua orang tuanya. Semua itu akan memberikan dampak yang buruk untuk namamu, Al."

Desahan napas Al Biru mulai memberat. Ya, ia sudah memikirkan semua resiko tersebut. Tetapi semua itu tak menghentikan niatnya untuk memiliki Bia. Membayangkan Bia akan menjadi milik pria lain saja sudah membuat emosi di dadanya semakin memekat. "Ya, mungkin. Tapi ..." senyum mengembang di bibir Al Biru. "Bukankah aku juga memiliki tujuan dengan pernikahan ini."

Black Rose of The ValleyWhere stories live. Discover now