00:07

47 36 0
                                    

Senandika.

[ Percakapan tokoh dengan dirinya sendiri. ]


Kutanya padanya suatu malam, "Apa yang sebenarnya sedang kau perjuangkan? Kenapa rela mati-matian menyembunyikan lukamu yang bernanah dengan topeng tawa kepalsuan?"

Ia terdiam beberapa detik, entah menelaah sesuatu, atau justru tengah gamang. Aku tak mampu menyelami mimiknya. "Entahlah, aku tak yakin. Lagipula, tak semua tawaku itu imitasi belaka. Ada yang benar-benar sebab aku bahagia, meskipun tak seberapa."

Aku tertular diamnya. Memoriku mulai tak keruan. Memutar banyak adegan-adegan menyakitkan dan pedih yang selama ini kusimpan dalam diam. Dadaku tiba-tiba sesak, sesuatu menyeruak dan terasa akan meledak. Aku menggigit bibirku kuat-kuat, "Sebenarnya, aku lelah sekali."

Dia menatapku, matanya sendu, sudutnya berair, "Aku tahu, aku paham sekali kau lelah dan ingin pergi. Tapi dengarkan aku, kita tak bisa menyerah sekarang. Tidak hari ini."

"Kenapa? Apa lagi alasan yang akan kau ucapkan? Aku muak!" setakku kesal. Tanpa bisa aku kendalikan, tangisku mulai mengudara.

Dia menatapku dalam sekali, perlahan dia ikut menangis juga. Tangisnya bahkan terdengar amat pilu dan menusuk-nusuk runguku. "Aku juga lelah, semuanya melelahkan. Aku ingin tidur dan tak membuka mata lagi juga, seperti inginmu. Tapi aku tak mampu," rintihnya pelan.

Aku tau. Aku tau dia pun terluka, sama hebatnya denganku. Tapi aku tak paham kenapa dia terus memaksaku untuk bertahan. Padahal semua ini benar-benar menyesakkan.

Dadaku semakin nyeri, ingin sekali aku memukul dan menghancurkannya sampai sakit itu pergi. "Kau tau? Aku ingin bertepuk tangan untuk kita. Kenapa bisa-bisanya kita terus tertawa padahal sedang meminta tolong dalam hati. Kenapa kita terus bersikap biasa saja saat hati kita tercabik-cabik tanpa sisa. Kenapa kamu dan aku tak lari saja mencari pertolongan daripada mati perlahan dengan hina. Kenapa aku, kenapa kau, bertahan di tengah duka nestapa penuh kepiluan?" tanyaku, aku murka. Benar-benar marah pada diriku sendiri dan juga dia.

Dia mendekat, memelukku dengan erat. Dengan tergugu ia berucap, "Maafkan aku. Maaf karena aku terus meneriakimu dan memintamu kuat padahal aku tau kau sedang tak baik-baik saja. Maaf karena aku terus memaksamu tetap berpendar dan tak padam meski sinarnya kian menghilang. Maaf, karena aku membiarkanmu terluka begitu dalam hingga yang tersisa hanya kebencian, penyesalan, dan sumpah serapah yang kau tahan."

Aku menatapnya, ah, aku benci melihat netranya yang penuh lautan derita. Aku benci memahaminya yang remuk redam tak lagi bermaya. "Jangan tinggalkan aku, ya. Kumohon. Jika kau beranjak barang sejengkal, maka pertahanan yang kubangun selama ini akan hancur berantakan."

Dia tertawa pelan, "Pasti, sayang. Bukankah selama ini kita saling mengisi? Saling memeluk saat dunia tak bersahabat, dan saling menguatkan saat perlahan kehilangan harapan?"

Aku mengangguk mantap. "Baiklah, mari bertahan, sehari lagi, hanya sehari. Baru setelah itu kita pikirkan lagi."

Dia melengkungkan senyumnya, "Terima kasih, diriku."

Aku membalasnya, "Sama-sama, aku."

---renjanalara

5 Februari 2023

Renjana Lara [ Slow Update ]Where stories live. Discover now