Ucapan manajer itu sedikit membuat Riri kesal. Jika mereka tidak datang terlambat, pasti penjelasannya tidak perlu dilakukan terburu-buru.

"Baik, Saya akan menjelaskan tentang konsep iklan ka-"

"Riri ya?" Ucap Felisa memotong ucapan Riri.

"Gue sepupunya Cindy, Felli." Ucap Fellisa percaya diri.

Riri sempat tertegun sejenak. Setelah menggali kembali ingatannya Riri akhirnya ingat. Pertemuan mereka mungkin hanya terjadi sekali, beberapa bulan sebelum perceraiannya. Dia tidak mengenalinya, entah karena sudah bertahun-tahun berlalu atau karena wajah perempuan di depannya sudah benar-benar berubah. Atau karena dia hanya merupakan salah satu dari sekian bekas luka kecil di hidupnya.

"Lo kerja disini ternyata. Gue pikir lo ngilang kemana. Keadaan Lo ternyata udah membaik sekarang. Nggak perlu nempel sama Cindy atau bergantung sama Bayu lagi." Ucapan Felisa terdengar meremehkan Riri.

Dia sudah tahu tidak mungkin ada hal yang tentang ini. Sakit hati? Tidak. Fellisa bukanlah orang yang bisa menyakitinya. Dia tidak sepenting itu.

Riri menarik nafas mencoba bersikap profesional, "Bisa saya bahas dulu masalah iklan, sepertinya waktu anda tidak banyak." Dia bahkan tetap menggunakan bahasa formal karena mereka memang tidak dekat.

Fellisa mengerutkan keningnya tidak suka, tapi dia memilih diam saja. Riri akhirnya melanjutkan penjelasan terkait iklan yang mereka lakukan dibantu oleh Bella selama hampir 30 menit. Fellisa tidak banyak bicara dan hanya manajernya saja yang banyak bertanya. Setelah selesai sebenarnya Riri ingin segera pergi, tapi sepertinya tidak bisa.

"Lo nggak akan manfaatin kerja sama ini biar dekat sama Bayu lagi kan?"

"Saya rasa itu bukan urusan anda." Riri malas meladeni Fellisa.

"Lo udah cerai sama Bayu, Sadar diri. Lo yang dulu aja nggak pantas sama dia, apalagi lo yang sekarang. Bukanya Bayu bisa mendapat yang jauh lebih baik dari lo dengan kualifikasi Bayu. Seperti Cindy misalnya." Ucap Fellisa sinis.

Riri menatap tajam Fellisa, "Gue pantas atau nggak itu bukan urusan Lo." Tanpa perlu Fellisa bicara pun dia sudah tahu itu.

"Lo nggak mau dikasihani lagi kan?"

Fellisa memang sangat dekat dengan Cindy. Namun itu seharusnya tidak menjadi alasan baginya untuk membenci Riri, karena bukan Riri yang menyakiti Cindy, tapi Cindy lah yang menyakitinya. Namun bukanya memang selalu seperti itu, tentunya dia lebih berpihak kepada keluarganya di banding Riri, yang bukan siapa-siapa.

Mungkin jika dia memiliki keluarga, mereka juga akan bersikap seperti Fellisa. Mereka akan membelanya ketika dia disakiti. Sayangnya Riri tidak memilikinya.

Dia langsung keluar diikuti oleh Bella yang sepertinya bingung, dia terlihat ragu-ragu ketika akan berbicara.

"Bella, untuk masalah tadi bisa kamu rahasiakan?"

"Baik, mbak Riri." Ucap Bella, dia tidak berani menanyakan apakah Bayu yang dimaksud adalah Bayu yang sama dengan klien mereka.

Riri benar-benar tidak ingin ada gosip tentangnya di kantor. Dia benci jadi pembicaraan orang lain. Entah karena dia tidak punya orang tua, seorang janda, atau bahkan memiliki hubungan dengan Bayu. Dia tidak mau ditatap dengan tatapan penghakiman atau kasihan oleh orang lain.

Dia benci dikasihani.

*****

11 tahun yang lalu

Gedung belakang kampus itu terlihat sepi. Ini adalah jam makan siang sehingga lebih banyak mahasiswa yang ada di kantin kampus.

Riri duduk di kursi panjang di bagian belakang gedung, Mata kuliah selanjutnya akan dimulai pada jam 1 siang jadi dia memilih duduk disini dibanding di kantin kampus.

Dia belum memilki banyak teman dekat hanya beberapa yang saling berbicara mengenai tugas kampus, mungkin karena sifatnya yang cenderung tertutup. Selain itu Cindy sahabatnya berada di fakultas lain jadi mereka cukup jarang bertemu.  Setidaknya ini lebih baik dibandingkan saat dia masih SMA, tidak ada lagi yang membicarakannya di belakang.

Dia masih berada di semester 1 jadi masih belum terlalu sibuk. Namun dia sudah merasa kesulitan membagi waktu antara bekerja dan berkuliah. Beasiswa yang diperolehnya tidak cukup untuk menghidupi kehidupan nya. Sejak lulus SMA dia memilih keluar dari panti asuhan. Sekarang bahkan dia tinggal di kost kecil dekat kampus, dan bekerja sebagai pelayan cafe. Itupun dia mendapatkannya dengan bantuan Cindy.

Ketika Riri sedang asik memakan bekalnya seseorang duduk di ujung kursi panjang bersamanya. Dia melihat ke samping dan menemukan seorang laki-laki yang sedang mengeluarkan laptopnya. Riri merasa canggung tapi karena laki-laki itu sibuk dengan laptopnya dia juga mencoba bersikap biasa saja.

Mereka berdua duduk dalam seolah bersepakat tidak menggangu satu sama lain. Pertemuan itu terjadi beberapa kali, Riri pun sudah terbiasa, dia pun tidak punya keinginan untuk menyapa laki-laki itu.

Sampai ketika laki-laki itu menyapanya terlebih dahulu.

Lali-laki itu mengusap lehernya terlihat canggung, "Boleh pinjam pulpen sebentar."

Riri mencari pulpen di tasnya, "Ini." Dia mengulurkan pulpen pada laki-laki disebelahnya. Itu adalah percakapan pertama mereka.

"Bayu Pramesta mahasiswa fakultas FEB." Laki-laki itu mengembalikan pulpennya dan memperkenalkan dirinya.

"Riri Purnama, Fakultas Desain."

Riri baru menyadari bahwa laki-laki itu sangat tampan. Sebelumnya dia tidak terlalu memperhatikan itu.
Walaupun dia tidak punya sahabat saat berkuliah dia masih berkomunikasi dengan teman-teman kuliahnya. Dan Bayu merupakan topik yang sering dibicarakan. Mahasiswa semester 7 yang usianya hanya terpaut dua tahun dari Riri karena Bayu merupakan siswa akselerasi saat  SMA. Bahkan topik-topik kecil tentang Bayu sering terdengar olehnya.

Namun tidak ada yang tahu saat itu bahwa Riri terkadang berbincang dengan Bayu di belakang gedung kampus. Hal itu menjadi rahasia kecilnya bahkan dari sahabatnya Cindy.

Mereka terkadang bahkan bercanda di gedung belakang kampus itu, tanpa ada yang mengetahuinya. Percakapan yang menyebabkan benih-benih cinta tumbuh.

Sayangnya benih itu hanya tumbuh di hati Riri.

Jangan Lupa Vote dan Komen, Ya!! Kritik dan Saran Juga dipersilahkan.

Minggu, 5 Februari 2023

Bekas LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang