"Gue lebih nyaman dipanggil lo daripada Anda."

"Nggak seharusnya saya kayak gitu," jawab Tenica sambil membenarkan tatanan rambutnya. "Tunggu sepuluh menit lagi, saya akan kembali."

"Nggak usah."

"Pasti ada yang mau dibicarain, kan?" Tenica menatap Nuca yang masih mengenakan pakaian yang sama. Rambut lelaki itu juga sama berantakan sepertinya. Bedanya Nuca tetap terlihat tampan. Sedangkan Tenica tidak yakin tetap terlihat cantik. Meski sudah berdandan saja dia merasa wajahnya biasa saja, apalagi jika berantakan seperti sekarang. Sudah pasti akan terlihat jelek.

Nuca menarik tangan Tenica dan menuju ke mobil yang terparkir di ujung. "Kita ngobrol di mobil aja."

Tenica hendak melepaskan genggaman, tapi Nuca menariknya mendekat. Dia tertarik hingga berjalan di samping lelaki itu. Dia memperhatikan wajah Nuca yang tidak sesantai biasanya. "Nggak ada apa-apa, kan?"

"Kita bicara di dalem." Nuca mengeluarkan kunci mobil dan membuka kunci. Lantas dia membuka pintu penumpang, meminta Tenica masuk dulu.

Tenica kali ini menurut. Dia duduk di bangku kemudi dan menatap Nuca yang memutari mobil. Saat lelaki itu sudah masuk, dia duduk menyerong. "Jadi, ada apa?"

Nuca menahan tawa. "Nggak sabaran banget."

"Udah, to the point aja."

"Oke!" Nuca mengangkat kedua tangan melihat Tenica yang tidak sabaran. Dia menurunkan tangan dan menatap tembok di depan mobil. "Kakak sama sahabat gue minta gue mikir lagi."

"Soal pertunangan?"

Nuca mengangguk. "Mereka kayak nggak percaya gue ngelakuin itu."

Tenica menarik napas panjang. Dia berusaha berpikir positif dan memposisikan diri sebagai pendengar yang baik. "Memang sebelumnya Kak Nuca nggak pernah serius?"

"Enggaklah," aku Nuca. "Gue emang suka Henna, tapi juga deketin cewek lain. Meski gitu, gue yakin perasaan gue tetep buat Henna."

"Sekarang lagi nggak deket sama cewek lain, kan?"

"Lo!"

Tenica melotot. "Kita nggak deket!"

"Nih, deket!" Nuca bergeser dan menggerakkan tangan, menunjukkan kedekatannya dengan Tenica.

Plak.... Tenica memukul lengan Nuca. "Jangan bercanda."

"Biar nggak tegang," jawab Nuca lalu mengusap dada. "Sekarang gue nggak deket sama siapapun. Setahun terakhir, nggak ada cewek yang gue deketin."

"Kalau gitu, tanya ke perasaan Kak Nuca. Sebenarnya sayang ke Kak Henna atau enggak?" saran Tenica. "Tiap orang mau nikah, pasti ada aja cobaannya. Orang yang tunangan pasti juga gitu."

Nuca juga berpikir seperti itu. "Nggak tahu kenapa kayak ada yang membebani pikiran gue. Semakin mendekati hari H, perasaan itu makin besar."

Tenica mulai gelisah. Haruskah dia memberi tahu kejadian yang sempat dilihat? Namun, dia juga tidak bisa menuduh Kak Henna selingkuh. Dia tidak mengenal wanita itu.

"Tapi, setelah ketemu lo gue merasa terhibur," aku Nuca.

"Terhibur?" Tenica mengernyit melihat Nuca yang tersenyum miring. Seketika dia ingat penampilannya. "Jangan ngejek! Gue emang jelek."

"Gue nggak bilang lo jelek."

Tenica duduk menghadap depan sambil merapikan rambutnya yang belum kering. Dia lalu melirik Nuca. "Untung, deh, kalau Anda terhibur."

"Tapi, kalau sendirian perasaan itu bakal muncul lagi." Nuca duduk bersandar. "Apalagi, Henna udah nggak bisa dihubungi."

"Gimana bisa?" Tenica duduk tegak dan menatap Nuca tak percaya.

All in AllOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz