"Sebenernya nggak perlu repot-repot," ujar Tenica tepat saat makanan datang.

"Gue nggak merasa repot."

Dua pelayan mulai menata makanan di meja. Nuca memilih makanan laut sedangkan Tnica setuju saja. Dia juga memesan teh panas. Katanya, teh panas bagus untuk mengembalikan stamina.

"Lo nggak pesen kopi?" tanya Nuca kala tidak ada secangkir kopi di atas meja.

Tenica menggeleng. "Perut gue masih sakit. Bisa-bisa tepar kalau kebanyakan kopi."

"Jadi, yang kemarin karena kopi?"

"Ha?"

"Lo kemarin ngeluh sakit perut. Jadi, karena kopi?"

Tenica mengangguk setelah tahu maksudnya. "Sebelumnya saya sudah minum dua kopi. Terus, ketemu Anda."

"Kenapa waktu itu milih kopi lagi?"

"Biar cepet aja."

"Haha...." Nuca terbahak. "Gue pikir, lo nggak seceroboh itu."

Tenica mengangkat bahu. Dia mulai memakan ikan gurami dan sedikit mengambil sambal. Setelah itu dia menatap Nuca yang masih menyeduh teh. "Udah kasih tahu Kak Henna soal makanan tadi?"

"Nanti ajalah."

"Jangan sampai lupa."

"Iya. Nanti gue ke rumahnya," jawab Nuca sambil meletakkan cangkir tehnya. "Maaf, kalau tadi Henna kasar ke lo."

Pikiran Tenica berkelana ke kejadian tadi siang. Dia sungguh tidak menyangka jika Henna mendorong dan Nuca menolongnya. "Kayaknya saya tadi belum bilang terima kasih," ujarnya. "Makasih."

"Bukan hal berat." Nuca menggeleng pelan. "Harap sabar aja kalau Henna kayak gitu. Aslinya dia baik, kok."

"Iya, tahu. Kalau marah-marah doang nggak mungkin bikin Anda jatuh cinta."

"Gitu?"

Tenica mengangguk. "Setiap orang jatuh cinta pasti ada alasannya," jawabnya. "Kalau bilang tulus mencintai, pasti juga ada alasannya. Apa mungkin dia baik ke kita, atau kita suka karena kepribadiannya. Pasti ada alasannya."

Nuca mengerjab. "Baru kali ini lo ngomong agak panjang."

"Ha? Kayaknya nggak gitu."

"Menurut gue gitu." Nuca mulai menyantap makanannya dan kembali menatap Tenica. "Udah berapa tahun jalanin bisnis ini?"

Tenica tanpa sadar tersenyum. "Baru empat tahun saya pegang," jawabnya. "Tapi, enam tahun dipegang mama."

"Wah. Udah lama, dong?"

"Hem." Tenica mengangguk. "Cuma, karena dulu dipegang orangtua, jadi nggak banyak promo. Dulu, cuma layani pernikahan kecil. Sekarang masih gitu, sih. Tapi, udah bisa layani penikahan yang agak besar."

Nuca manggut-manggut. "Terus, lo sendiri udah nikah?"

Pertanyaan itu membuat Tenica langsung membuang muka. "Belum."

"Oh, ya?" Nuca menatap heran. "Pasti pacar punya dong?"

"Enggak!"

"Masa?"

Tenica menatap makanannya sambil menunduk. "Beneran."

"Kayaknya nggak ada yang salah sama lo," ujar Nuca sambil memperhatikan wanita yang mengenakan hoodie kebesaran itu. "Lo cantik, kelihatan tegas. Lo tipe orang yang gampang dicintai, deh, kayaknya."

"Hempp...." Tenica menutup mulut saat tawanya hampir meledak. "Yang salah diri saya sendiri. Nggak gampang buka hati."

"Trauma?"

All in AllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang