Turning Point

16 1 0
                                    

"Lica?"

..."hanif"

Hanif tersenyum lebar setelah sebelumnya merasa ragu bahwa perempuan yang sedari tadi begitu serius melihat gerabah adalah orang yang ia kenal. Ternyata tebakannya benar meski hanya berdasar dari asumsi melihat perawakan yang familiar, akhirnya sepasang sorot mata yang teramat dia kenali memberi keyakinan lebih besar. Dia Lica, sahabatnya yang hampir dua tahun ini seolah menghilang tanpa jejak.

"Lica apa kabar? Astagaaa Ca, gue kangen""

...han"

Tidak seperti Hanif yang antusias akan perjumpaan mereka, Lica justru merasa terkejut luar biasa. Pertemuan secara tiba-tiba di tempat yang tak terencana seperti ini membuat Lica gugup. Otak Lica terasa kosong padahal rencana untuk menemui sahabat-sahabatnya selalu ia pikirkan dan persiapkan akhir-akhir ini.

"Kita ngobrol sambil duduk ya, di taman depan. Ayok!"

Senyum bahagia, raut antusias, dan genggaman tangan hanif yang menggandeng Lica ke luar galeri membekukan Lica. Perasaan bersalah, takut, bahagia, bersyukur, gelisah dan masih banyak rasa campur aduk di dada Lica.

"Han gue minta maaf."

"Sorry ya Han,,, maafin gue"

".... maafin gue udah ninggalin elo, ninggalin Aksara, ninggalin kalian. Gue minta maaf Hanif" Racau Lica begitu Hanif menghentikan langkahnya, bahkan belum sampai keduanya mengambil duduk di taman itu.

"Pssssst" Hanif memberi isyarat agar Lica berhenti bicara "Apa kabar Lica? Aku mau tahu kabar kamu HA RI I NI" tekan Hanif dengan wajah sumringah.

"Aku mau tahu apa yang kamu makan pagi ini? Gerabah apa yang sedang kamu cari? Apa kamu ga masalah dengar ocehan anehku hari ini?" mendengar itu Lica menangis menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. I don't deserve people like you, guys.

........

"Lo egois kalau sampai ga peduli sama Lica"

"Terus Lica apa? Lica APA? Apa dia ga lebih egois?? HAH?!"

"Lo gatau apa-apa"

"EMANG LO TAU APA?!"

BRAK!!! KLONTRAAANG

.......

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Lica kembali bekendara di jalanan yang dulu begitu familiar baginya. Sekarang banyak hal yang berubah meski ada juga bagan-bagian yang masih ia ingat sama seperti dulu.

Lica merasakan pertemuannya dengan Hanif yang tanpa disengaja itu berjalan menyenangkan. Hanif menepati omongannya tentang obrolan yang mereka lakukan. Laki-laki itu hanya menanyakan pertanyaan sederhana seperti yang ia bilang.

Sebenarnya kemarin Hanif pun merasa terkejut karena tidak menduga akan bertemu gadis itu. Setelah dua tahun usaha yang dia lakukan untuk mencari tahu keadaan dan keberadaan Lica.

Jujur, lebih dari semua rasa penasarannya tentang alasan juga cerita Lica selama dua tahun ini Hanif lebih merasa ingin tahu keadaan Lica. Ia ingin memastikan bahwa Lica hari ini baik-baik saja, sehat, dan berbahagia.

"Mau ya ketemu mereka?"

"Mereka bakal seneng banget ketemu lo, kita bertiga kangen sama lo"

"Lica, semua yang lo takutin itu cuma ada di dalam kepala elo. Kalau sampai Lando sama Samm ga menerima lo balik biar gue tonjokkin satu-satu otak kopong mereka"

Lica terkekeh sendiri mengingat cara Hanif untuk meyakinkannya. Hari ini ia menuruti permintaan Hanif untuk menemui sahabat-sahabatnya yang lain.

Setelah memarkirkan mobil gadis itu pun turun. Kakinya menjejak batu-batu koral hingga suara langkah dari arah lain membuat Lica mendongak.

Turning PointWhere stories live. Discover now