"Oke! Gue DP dua puluh lima, kurang?" tanya Nuca sambil mengulurkan ponsel.

"Silakan."

Nuca menyerahkan ponsel ke Tenica. Wanita itu segera mengetikkan nomor rekening dan mengembalikan ke Nuca. "Atas nama Tenica Lusiana?" tanyanya. "Nama yang unik."

"Ya," jawab Tenica.

"Sudah...."

Tenica mendekat, melihat nominal yang telah ditransfer oleh Nuca. "Terima kasih," ujarnya lalu mengulurkan tangan. "Semoga kita bisa bekerja sama."

Nuca menatap tangan dengan jemari panjang tanpa polesan kuteks itu. Dia menjabat tangan itu dan terasa hangat. "Ya. Semoga kita bekerja sama."

"Sewaktu-waktu saya akan telepon untuk konfirmasi. Ada waktu di mana saya tidak boleh menghubungi?"

"Tentu aja tengah malam," canda Nuca.

"Selain malam tentu saja."

Nuca mengangkat bahu. "Lo boleh telepon gue kapanpun."

"Baik. Nanti saya hubungi lagi," jawab Tenica sambil berdiri. "Saya boleh minta nomor Kak Henna?"

"Oke!" Nuca menarik laci meja dan mengeluarkan kotak transparan berisi kartu nama. Dia mengambil satu dan menyerahkan ke Tenica. "Kalau sama Henna, mending telepon waktu istirahat atau setelah jam lima. Akhir-akhir ini dia sibuk."

Tenica menerima kartu nama itu dan memasukkan ke katalog. "Kalau begitu saya permisi." Dia memasukkan katalog ke tas lantas bergerak ke samping.

"Jangan lupa bawa ini!" Nuca mengambil kantung yang tergeletak dan sepertinya sengaja tidak Tenica bawa.

"Makasih."

"Sama-sama."

Tenica sedikit menunduk lantas berbalik. Dia berjalan keluar dengan senyum lebar. Namun, dia yakin dalam proses persiapan nanti tidak akan tersenyum.

"Tenica!"

Seruan itu membuat Tenica berhenti melangkah. Baru saja dia menginjakkan kaki di anak tangga, tapi terdengar suara Nuca. "Ada perlu lagi?" tanyanya tanpa beranjak.

Nuca berjalan keluar dan menatap Tenica. "Makasih atas kepedulian lo."

"Ha?" Tenica mengernyit bingung.

"Gue tunggu kabarnya," ujar Nuca lalu menutup pintu.

Tenica geleng-geleng. "Aneh banget," gerutunya lantas melanjutkan langkah. Dia harus segera pulang dan mempersiapkan semuanya. Barulah esok hari dia meeting dengan timnya.

***

"Dia minta rancangan Best Bride?"

Wanita yang mengenakan handuk di kepala itu mengangguk. "Iya. Susah nggak?"

"Banget!" Tera dan Liv menjawab bersamaan.

Ternica duduk bersila di atas kursi makan lalu menatap tulisan tangannya. "Gue udah siapin daftar desainer yang bajunya nggak kalah bagus sama Basro, tapi jelas nggak bisa dadakan, sih."

"Ini dia cuma nyewa, kan?" tanya Liv memastikan.

"Jelas nyewa, acaranya sebulan lagi." Tera menggaruk kepala, mendadak pusing.

"Gue minta kalian jangan nyerah." Tenica menatap dua wanita itu bergantian. "Tera konfirmasi ke hotel, Liv konfirmasi ke butik. Gue coba tanya ke tim Basro."

"Tapi, susah banget, Kak!" Liv menatap kakak sepupunya itu tidak yakin. Dia tahu kakaknya itu ambisius, tapi ada hal-hal yang tidak semudah itu tergapai. Terlebih, acara sebulan lagi.

All in AllOù les histoires vivent. Découvrez maintenant