9. Naresh Cemburu 17+

145 8 0
                                    

Masha pov

"Tarik nafas, keluarkan."

Saya mengikuti instruksi dari Naresh untuk menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan.

"Na, aku gugup banget. Gimana kalau aku gagal? Gimana kalo ideku kalah sama ide Ann atau Mbak Diva? Mereka tuh idenya mesti fresh semua. Aku takut."

Hari ini saya sangat gugup karena ada presentasi di kantor. Presentasi ini bebas diikuti oleh semua karyawan agar Pak Hendery bisa menampung semua gagasan terkait proyek selanjutnya.

Kali ini startup Pak Hendery mengambil project event peresmian taman komplek perumahan elit di Surabaya. Proyek ini terbilang cukup besar karena akan dilihat banyak mata orang orang kalangan atas dan mungkin itu bisa menjadi jembatan agar startup Pak Hendery makin dikenal.

Sejak saya melihat langsung taman itu yang pertama kali terlintas di otak saya adalah Hamka. Entah kenapa melihat taman itu mengingatkan saya dan Hamka semasa kami masih kecil. Dulu kami sering sekali menghabiskan waktu bermain di taman berdua. Saya punya dua Kakak tapi keduanya tidak mau kalau saya ikut bermain dengan mereka sedangkan Hamka tidak memiliki saudara untuk diajak bermain. Karena alasan itulah kami sering bermain berdua di taman karena mungkin memang disana ada dunia kami. Dunia imajinasi milik saya dan Hamka. Dan seolah dunia imajinasi itu sekarang menjadi kenyataan di taman yang akan segera diresmikan ini, konsep, suasana pokoknya semua mengingatkan saya pada Hamka.

Karena alasan itulah saya bertekat untuk memenangkan presentasi ini. Saya ingin ide saya dipakai untuk peresmian taman itu.

Semalam saya sudah berlatih dengan Naresh dan Adel sebagai audience. Adel, Adel itu anaknya Kak Bin dan Mas Marka. Bayi berusia satu setengah tahun itu yang semalam membantu saya mempersiapkan presentasi. Dan saya mendapat banyak kekuatan saat di akhir saya presentasi buntalan menggemaskan itu memberi tepuk tangan bersama Naresh dengan semangat.

"Nggak papa sayang. Kalau kalah kan bisa menang kapan kapan, yang penting kamu udah berusaha yang terbaik. Nggak akan ada rasa kecewa kalau kamu udah kasih yang terbaik Sha. Kalah menang itu biasa. "

"Tapi aku pengen menang. Aku pengen rasain jadi ketua tim." Saya menunduk lesu.

"Ya udah sini aku kasih mantra ajaib." Dia melepaskan seatbeltnya lalu menggeser posisi duduknya lebih maju mendekat pada saya. Tangan kanannya sudah dia letakkan di atas kepala saya, "Pacarku pasti bisa. Nggak ada yang bisa ngalahin dia. "

Dia lantas tersenyum lalu mencium kening saya dengan hangat, "Aku yakin kamu bisa Sha. Kalau kamu gugup inget aja kalau orang orang yang ada di depan kamu itu Adel yang gemoy. Biar kamu nggak takut dan gugup. "

Dia menepuk bahu saya menyalurkan kekuatan pada saya, "Udah sana keburu absennya merah entar gaji kamu dipotong lagi sama Dery."

Saya sedikit tertawa dengan leluconnya itu.

Dia membukakan pintu untuk saya dari dalam, saya menyukai dia seperti ini daripada dia harus keluar lebih dulu lalu membukakannya untuk saya.

"Nanti aku jemput, nggak usah pesen ojol, apalagi nebeng sama Ajisaka Ajisaka itu."

Saya tertawa saat dia lagi lagi cemburu dengan Ajisaka. Saya belum bercerita ya, setelah saya dan Naresh baikan saat saya mabuk waktu itu, dia mulai tanya tanya soal Ajisaka. Saya sempat kaget darimana Naresh tau soal Ajisaka. Setelah saya mendesak dia akhirnya dia mengaku kalau dia kenal Ajisaka saat dia menjemput saya ketika saya mabuk waktu itu. Naresh bahkan bilang kalau dia sempat bersitegang dengan Ajisaka karena berebut mengantar saya pulang.

"Si tiang listrik dikasih nyawa itu suka sama kamu Sha, kamu nggak lihat apa cara dia natap kamu itu beda. Matanya ada lope lopenya."

"Apa sih, ya nggak mungkin lah. Ajisaka itu lebih muda dari aku. Ya kali dia suka."

Kita Usahakan Rumah ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang