1

14 0 0
                                    

Hujan kian turun dengan lebatnya. Suara binatang malam mulai bersautan menunjukkan eksistensinya.

"Sepertinya malam ini aku tidak bisa kembali ke desa," gumamku seraya bergegas menuju kuil tua.

Tangga kayu kuil itu berdecit kala aku menginjakkan kaki menapakinya. Pintu kuil yang sudah rapuh kubuka dengan perlahan.

"Baiklah, aku akan menginap di sini malam ini. Hujan terlalu lebat, cukup berbahaya jika aku harus kembali sekarang," batinku sembari mengecek seluruh ruangan kuil.

Setelah menjelajahi kuil, telah kuputuskan untuk merebahkan badanku di sudut kuil. Tempat paling nyaman dan aman karena jauh dari atap bocor serta jendela kuil yang berlubang.

Aku mulai menyandarkan tubuhku di dinding kuil dan memeluk katanaku yang sedari tadi tergantung di pinggangku. Mataku semakin berat dan tanpa sadar aku sudah tertidur pulas.

Rintik hujan tetap terdengar. Sesekali sambaran petir mengiringinya. Aku terbangun beberapa kali sampai aku melihat sosok yang duduk si sudut lain ruangan kuil.

Sosok itu sedari tadi mengawasiku dengan mata tajamnya. Aku tetap duduk di tempatku dan mengamatinya dengan saksama.

"Apa kau seorang siluman?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Iya," jawabnya singkat dengan nada suara yang berat.

"Hah, baiklah. Apa kau tidak membunuhku?"

"Aku tidak membunuh saat mangsaku lengah."

"Benar, aku terlalu lelap hingga tidak sadar akan kehadiranmu."

Dia tidak menjawab untuk beberapa saat. Aku berdiri dan mengaitkan katana di pinggang. Dia masih mengamatiku. Aku berjalan ke luar kuil kemudian duduk di tangga kuil yang rapuh itu.

Langkah kaki dari dalam kuil perlahan mendekatiku. Sosok yang sedari tadi duduk di sudut kuil, kini berdiri tepat di belakangku.

"Tidakkah kau tarik katanamu?" tanyaku dengan pandangan tetap lurus ke depan.

"Aku tidak ingin mengotori aroma hujan ini dengan darah," jawabnya seraya berjalan dan sekarang berdiri di sampingku.

"Baiklah. Duduklah."

Dia diam dan mulai duduk di sampingku. Dari sudut mataku terlihat pria dengan rambut perak yang terurai panjang. Kulit yang cerah serta terdapat 2 garis berwarna magenta di pipinya. Di antara poninya terdapat bulan sabit dengan warna ungu tua.

"Kau sangat mengamatiku," ungkapnya dengan tatapan lurus ke depan.

"Ya, aku berada dalam posisi yang berbahaya sekarang," terangku.

Dia tetap diam membisu.

"Siluman yang berwujud manusia memiliki kekuatan yang luar biasa, benar begitu?" tanyaku.

Dia masih tetap diam. Aku pun tidak kembali mencoba mengajaknya berbicara. Pikiranku berkelana tentang tanaman obat, anak-anak di desa, serta keadaan desa yang akan segera kukunjungi besok.

"Kau memiliki aroma seperti siluman," tegasnya memecah lamunanku.

Aku mencium bajuku dan rambutku.

"Benarkah begitu? Terkadang aku juga merasa bukan seorang manusia."

"Kau seorang miko tapi darah siluman yang pernah kau bunuh masih terus mengikutimu."

"Ya, aku sadar itu. Entah harus berapa kali lagi aku harus berlumuran darah siluman."

Dia diam lagi dan sesekali melihat ke arahku.

"Aku juga tidak berniat membunuhmu seperti kau tidak berniat membunuhku. Aku hanya membunuh siluman yang menganggu penduduk desa."

Dia mengarahkan pandangannya kepadaku. Kini dalam posisi seutuhnya menghadapku.

"Kau siluman, tapi aku tidak mencium bau darah manusia sama sekali," ucapku meneruskan pembicaraan.

"Bagiku membunuh manusia bukan hal yang penting. Mereka sangat lemah," jelasnya singkat.

"Benar, manusia memang lemah. Mereka tidak hidup abadi sepertimu. Tidak juga memiliki kekuatan sepertimu. Hanya ada beberapa manusia yang memiliki kekuatan. Mereka inilah yang menjaga manusia yang lemah lainnya," terangku.

Dia tidak menjawab sama sekali.

Aku bangkit dari tempat duduk dan kembali masuk ke dalam kuil. Badanku yang sedari tadi sudah menahan lelah akhirnya aku sandarkan di sudut kuil tempatku tidur semula. Siluman itu tetap duduk di tangga kuil dan enggan masuk ke dalam. Aku tak memedulikannya lagi.

Under The MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang