📷 chapter t w e n t y t w o

Start from the beginning
                                    

Alsa merasa cukup lega karena ia hanya harus menghadapi Mama dan Ravin saja. Pertama-tama ia pun beranjak ke dapur dan menghampiri Mama yang rupanya tengah sibuk membuat bolu kukus.

"Kak, coba bantu Mama liatin bolu di kukusan--" Mama sekonyong-konyong memutus kalimatnya saat menyadari anak gadisnya sudah tampak rapi. "Loh, Kakak mau ke mana? Tumben amat mau keluar pas libur gini."

Alsa menyengir kecil. "Iya, Ma, Kakak mau ... main ke kosan Kania."

"Ke kosan Kania? Ngapain mainnya di kosan? Padahal suruh aja temenmu yang main ke sini, Kak."

"Ng, ya nggak main di kosannya juga sih, Ma. Habis itu mau pergi juga ke mall yang deket kampus itu, loh."

"Oh, ya udah kalau gitu. Padahal Mama pengen ketemu sama Kania-Kania yang sering kamu ceritain itu loh, Kak. Tapi habis ditunggu-tungguin, malah senior kamu itu yang duluan datang ke rumah."

Seketika Alsa pun membeku. Ya Tuhan, apakah Mama akan kembali membahas soal Radya seperti kemarin?

Mama menoleh sekilas pada Alsa sebelum kembali menuangkan pewarna pada adonan kue dan mengaduknya sampai tercampur. Setelahnya, wanita itu meraih satu bolu kukus yang kebetulan sudah matang dan siap untuk disantap. "Nih, cobain dulu, Kak." Mama mengulurkan kue tersebut pada Alsa. "Rencananya Mama mau nitip jualan ke Bu Tini, karena katanya penjual bolu kukusnya udah nggak ngirim lagi."

Tak bisa menolak, Alsa pun menerima kue itu meski harus sedikit mengulur waktu untuk bertemu dengan Radya. Gadis itu lalu membelah kecil bagian atas bolu yang mekar dan melahapnya.

Belum sempat Alsa berkomentar, Mama tiba-tiba saja berkata, "Tapi, Kak, itu beneran, cuma senior Kakak doang?"

Nyaris saja, Alsa tersedak bolu yang baru ia telan.

"Baik banget ya dia, mau nganterin pulang karena Kakak udah bantuin dia."

"Emang beneran cuma senior kok, Ma ...."

"Hmm, tapi Mama sempat ngira kalau dia pacar kamu. Mama pikir, Mama bakalan punya calon menantu kaya raya."

Alsa seketika melotot. "Ma, apaan sih."

Mama terkekeh risngan. "Tapi, Mama bener, 'kan? Penampilan anaknya emang biasa-biasa aja, tapi merk mobilnya nggak bisa bohong, Kak. Mama tau, itu pasti harganya bisa sampe lima ratus juta ke atas."

Yah, memang, Mama tidak salah sama sekali. Selama ini Alsa mengamati penampilan Radya selalu tampak sederhana seperti laki-laki kebanyakan, tetapi saat mengetahui mobil yang dikenakan serta apa merk ponselnya, Alsa pun tersadar bahwa Radya bukan berasal dari kalangan biasa. Itulah salah satu hal yang membuat kehidupan dirinya dan Radya berbeda.

Embusan napas berat kemudian Alsa loloskan. Usai menandaskan bolu kukus, ia bermaksud untuk langsung pergi karena tak mau terlalu larut memikirkan hal itu.

"Bolunya enak kok, Ma, pasti laku banget kalau dijual," ungkap Alsa dengan jujur. Lalu ia pun menyalami Mama dan lekas berpamitan, "Kalau gitu Kakak pergi dulu ya, Ma, takut Kania nunggunya kelamaan."

"Ya udah, hati-hati ya Kak, perginya."

"Iya, Ma."

"Hati-hati juga."

"... apa, Ma."

"Kalau beda kasta, Mama jadi ragu-ragu."

"Ma ...." Alsa rasanya tak sanggup untuk memberi bantahan lagi usai mendengar kalimat tersebut.

Ah, sial. Kini Alsa pun jadi betul-betul tak henti memikirkannya.

-

Radya mengecek waktu pada arloji hitam yang melingkari pergelangan tangan kanan. Lima menit rupanya telah berlalu dari janji yang Alsa buat untuk bertemu. Padahal, minimarket point selaku tempat yang sudah ditentukan sebelumnya tidak terletak begitu jauh dari komplek tempat sang gadis tinggal. Radya sendiri sudah sampai sejak setengah jam yang lalu karena ia salah memperkirakan waktu akibat jarak rumah keduanya yang cukup jauh.

Through the Lens [END]Where stories live. Discover now