Aspia 04

668 152 3
                                    

ASPIA 04
Aku mengikuti alunan tembang jawa ini. Keringatku sudah menetes diantara ketiak, kaos putih yang aku kenakan sekarang sudah basah dibagian punggungnya. Rambutku juga ikut basah, karena gerakan tari ini memang sedikit menguras tenaga. Tapi aku menyukai saat melenggangkan kaki dan tangan, mengikuti irama. Rasanya jiwaku masuk ke dalam alunan musik tradisional ini.

"Sip. Bagus."

Akhirnya latihan tari selama 2 jam ini selesai. Kuusap peluh yang menetes dengan selendang yang aku ikat di pinggang. Aku langsung duduk di lantai di aula  ini. Pagi ini aku ditelepon oleh Ningsih, temanku di sanggar tari. Aku diminta untuk menemaninya latihan tari yang khusus untuk skripsinya. Dia mahasiswa tari di salah satu universitas di Yogyakarta ini. Aku senang dengan lingkungan seni seperti ini. Anak-anaknya itu baik-baik dan apa adanya.

"Maturnuwun yo Mbak Pia, mau bantuin. Kurang personil soalnya."

Aku tersenyum saat menerima air mineral dari Ningsih. Di sampingku dua cowok yang aku kenal sebagai penabuh gamelan kini ikut duduk berselonjor. Leo dan Miko.

"Mbak Pia kenapa nggak kuliah di sini aja to? kayaknya lebih seneng ke tari kan ya?"

Celetukan Miko yang kini menatapku membuat aku tersenyum. Senengnya tuh di sini semua wanita walau beda umur tuaan mereka juga manggilnya mbak, jadi sopan gitu. Merasa dihargai aja.

"Pengennya sih gitu. Tapi ayah Pia tuh maunya Pia kerja kantoran gitu. Padahal dari dulu tuh udah ngidam pengen masuk sini. Apa daya."

Miko kini hanya menganggukkan kepala, Leo langsung menepuk bahu Miko.

"Kamu ojo [jangan] ngerayu mbak Pia loh ya. Wes duwe Retno [udah punya Retno]."

Miko langsung menoyor Leo dan membuat cowok itu terkekeh.

"Halah kamu yang modus sama Mbak Pia to? Bilang tadi itu seksi Mbak Pia kalau lagi nari."

"Eh semprul, malah diomongin. Isin aku [malu aku]."

Tentu saja aku tertawa mendengar celotehan mereka berdua. Ningsih sudah sibuk dengan peralatan yang tadi dibawanya. Aku memang mengenalnya sejak aku masuk ke sanggar tari. Dia orangnya enak diajak ngobrol, kayak Citra gitu. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku segera menarik tas ranselku yang tergeletak di sampingku lalu mengambil ponselku. Nama Mario langsung membuat aku memencet tombol ijo.

"Princes Sofia.."

"Apa? Aku cariin dari tadi juga."

"Aih kangen sama aku?"

Aku memutar bola mata mendengar jawaban Mario di ujung sana. Kini aku berdiri dan melangkah menjauh dari Miko dan Leo. Melangkah ke arah undakan yang membatasi antara panggung dan lantai aula. Aku segera duduk di antara undakan.

"Kamu bilangin tuh sama pak asdos yang terhormat ya aku bukan cewek kamu."

Terdengar suara tawa di ujung sana. Aku sebel sama Mario kalau dia terus begini. Kemarin aku mencarinya tidak ada, bahkan aku sampai menelepon berkali-kali ke nomor ponselnya juga tidak jelas.

"Iya nanti aku bilangin. Cuekin aja kenapa sih itu kakakku yang ganteng. Biarin dia mau ngomel apa aja."

Aku hanya mengerucutkan bibir dengan malas.
"Dek Pia di mana emang? Ini kan jadwal masuk makulnya Pak Irawan ya?"

Astaga.

Aku langsung menatap jam yang melingkar di tangan, dan mataku membelalak melihat jam yang memang sudah menunjukkan waktu untuk makulnya Pak Irawan. Lah kok aku lupa ya?

******

"Morning Pia."

Sapaan itu tentu saja membuat aku menatap tajam ke arah Mario yang tiba-tiba sudah ada di depanku. Aku baru saja berlari dari parkiran motor, dan langsung naik ke lantai 3 gedung lama ini. Nafasku terengah. Kaosku masih basah oleh keringat, dibalik kemeja kotak-kotak yang aku pakai ini. Rambutku bahkan kini berantakan dan lepek karena tadi sudah basah oleh keringat ditambah harus memakai helm lalu mengendarai motor dari jalan bantul sana sampai di sini. Jauh memang.

"Jangan ngejek deh, minggir."

Aku mengusir Mario, tapi dia kini malah menyodorkan es teh yang ada di dalam plastik beserta sedotannya.

"Udah, nggak usah buru-buru. Itu kelas udah masuk, dari tadi. Ini juga paling udah mau bubar."

Mataku tentu saja membelalak mendengar ucapan Mario. Masa aku udah ngebut juga masih telat?
Tidak percaya akhirnya aku mengabaikan Mario yang berdiri masih memegang es teh tadi. Berlari sampai di depan ruangan kelas yang sudah terbuka, tapi saat aku melongok ke dalam kelas, aku langsung bertemu dengan Aslan.

"Udah bubar, Mas?"

Refleks aku bertanya saat melihat dia kini sudah melangkah keluar dari kelas.

"Ini jam berapa? Toleransi kehadiranmu sudah habis. Jadi mungkin semester ini kamu tidak lulus lagi."
Loh dia kok bilang seperti itu. Aku langsung mencegahnya yang ingin melangkah meninggalkanku. Kurentangkan kedua tanganku di depannya. Biar saja bau keringat dan lepek seperti ini. Tapi aku tidak mau mengulang lagi semester depan.

"Kan yang mutusin Pak Irawan, Bapak asdos yang terhormat tentu saja tidak berkompeten."
Mendengar ucapanku, dia kini malah menatapku dengan sombong. Alis terangkat satu dan dagu sudah setinggi batas kepalaku. Songong.

"Maaf, saya masih banyak pekerjaan."

Dia tidak menjawab tapi langsung pergi begitu saja. Wah ini tidak bisa dibiarkan. Aku langsung berlari dan kini menarik tangannya membuat dia melangkah mundur.

"Apa-apaan kamu?"

Matanya membelalak karena sentuhanku. Aku harus merubah strategi ini. Kini aku menegakkan diri dan menatap dia dengan lebih lembut.

"Ehm maaf ya. Mas siapa namanya? Aslan kan ya? Ehm kasih kesempatan dong. Kali ini absensi saya jangan dicoret. Please, saya mau deh melakukan apa saja, asal jangan dicoret ya?"

Mendengar ucapanku dia kini malah makin menatapku sombong. Kalau tidak demi absensi saja, aku pasti sudah menginjak kakinya. Wajahnya ngeselin.

"Aku bukan Mario yang suka sama kamu. Jadi nggak usah merayu."

Tuh kan ini emang ngajakin berantem beneran kok.
Sabar Pia, sabar. Kukatakan itu di dalam hati agar semuanya bisa berjalan lancar. Aku harus merayunya memang demilah biar aku lulus semester ini.

"Ya siapa yang bilang Mario. Bapak kan asdos yang terhormat. Jadi.."

"Oke aku terima penawaranmu. Besok tunggu permintaan yang harus kamu penuhi."

Dia memotong ucapanku, lalu tiba-tiba sudah melangkah meninggalkanku sendiri.
Astaga.
Memangnya aku tadi bilang apa coba? Owh apakah aku sudah bilang kalau aku akan mengabulkan semua permintaannya?
Ya Tuhan. Tapi aku kan bukan Jinni nya Aladin kan? Terus bagaimana kalau dia minta yang macam-macam? Owh sungguh merana hidupku ini. Demi sebuah absensi aku harus berkorban jiwa ragaku demi memenuhi perjanjian dengan si tuan sok tahu dan sombong itu. Tamat sudah.


Bersambung

Cerita ini udah tersedia di karyakarsa atau pdfnya juga bisa didapatkan di wa 081255212887 ya

BAKPIA RASA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang