"Eomma..."

"Eoh, Bona-ya..." eomma menjawab di dering ketiga.

"Aku menelpon untuk menghentikan eomma meminta bantuan pada orang itu."

"Keuge museun suriya? Bona-ya, eomma mengerti kau sangat membencinya, Eomma juga tapi tidak ada jalan lain yang bisa eomma lakukan. Mianata."

"Ani, aku sudah mendapatkan uang nya," aku mengatakannya setelah menarik nafas dalam-dalam.

"Nde? Jeongmalyo? Bagaimana bisa?" eomma terdengar terkejut di sana. Itu sudah pasti dan eomma mulai mencurigaiku.

"Ne jeongmal, aku meminjam nya dari temanku. Akan segera ku transfer ke rekening eomma. Aku tutup telponnya."

Aku sengaja tidak ingin berlama-lama berbicara dengan eomma. Aku tidak ingin eomma tau perjanjian apa yang sudah ku tanda tangani demi mendapatkan uang itu.

Setelah bermenit-menit hanya bersemedi di dalam kamar, aku memutuskan untuk keluar. Tenggorokan ku kering karena terus saja menangis tadi. Padahal aku sudah bertekad tidak akan menangisi keputusanku itu, tapi bahkan air mata ku tidak mau di ajak kompromi.

Aku membuka kulkas untuk melihat apa ada sesuatu yang cukup segar untuk mendinginkan otakku ini. Aku senang menemukan sekotak jus jeruk. Aku langsung meneguk minuman itu langsung dari tempat nya, tidak ingin bersusah payah mencari gelas. Rasa nya melegakan sekali saat cairan orange itu mulai menggelontor di kerongkonganku. Aku nyaris menghabiskan semua nya jika saja tidak ada seseorang yang menginterupsiku.

"Yak, Kim Bona itu punya ku, jangan di habiskan!"

Ku bersihkan sisanya di bibirku, menujukan tatapan menyesalku pada Naemi yang sedang berdiri marah di belakangku. "Aku kan juga kehausan," ujarnya rendah dan ucapannya itu sekaligus mengingatkan ku kembali pada kelakuan sahabatku itu tadi.

"Oh... kau kehausan ya? Memang nya berapa jam kau mendesah sampai kehausan seperti itu?" aku berusaha menyudutkannya. Dia terlihat salah tingkah dan itu menggelikan.

"Kau mendengarnya ya?" balas nya sambil menggaruk belakang telinganya yang aku yakini tidak sedang gatal.

"Bukan hanya mendengarnya tapi juga melihatnya."

Aku menaruh kembali kotak jus yang masih menyisakan seperempat nya ke dalam kulkas.

"Jinja? Bagaimana kau bisa mengintip kami seperti itu?" dia menggerutu.

Aku menggigit ujung bibirku geram, tidak terima mendengar tuduhannya. Bukankah seharusnya yang marah karena terganggu adalah aku, kenapa kedaannya malah berbalik.

"Kau membiarkan pintunya terbuka, suara kalian juga sangat keras tidak mungkin aku hanya diam saja. Dan satu lagi, sudah untung aku mengabaikan kalian dan bukannya memanggil seluruh isi apartemen ini agar memergoki kalian berdua sedang bercinta."

"Yak kenapa kau marah Bona-ya aku kan tidak serius. Kau boleh habiskan semua jusnya..."

Aku kembali mendengus tidak percaya melihat tingkah Naemi yang bisa berubah kapanpun, kadang aku merasa iri mengapa aku tidak memiliki sifat seperti dia.

"Aku tidak marah hanya sedikit kesal dan itu semua bukan karena mu" ucapku mengaku. Naemi tiba-tiba memelukku dan berteriak-teriak senang.

"Ku kira kau marah padaku. Tapi apa yang membuatmu kesal?"

"Karena aku sedang berperang melawan ketakutanku sendiri." aku membalas dengan menunduk.

"Oh Bona-ya, ceritakan masalahmu padaku!" Naemi membujukku. Aku juga ingin sekali menceritakan semua padanya tapi aku tidak bisa karena perjanjian itu.

Crazy in Love (NC)Where stories live. Discover now