22 - Tetangga Baru

Start from the beginning
                                    

"Malik bego! Jijik tahu gak sih? Enggak semua orang mau nyium aroma tangan bekas lu berak ya! Kayaknya enggak ada yang mau juga." Kukipas-kipas tangan di udara supaya menghilangkan aroma-aroma tidak sedap yang sebenarnya harum karena dibantu sabun si Hana, tapi sugesti dari perbuatan si Malik yang tidak terpuji ini yang menyebabkan baunya terasa.

"Aduan bener jadi cewek!"

"Gak modal bener jadi cowok, make-make barang cewek, enggak izin lagi."

"Ja-jangan gitu dong, Sti. Sakit hati gue denger tsunami fakta dari lu." Si Malik mendelik, murung. Tidak lama dari itu dia menyadari tetangga kamarnya sedang tidak baik-baik saja. "Bentar ... kenapa wajah lu, Bar? Pucet bener kayak tahu putih."

Mending tahu putih, ada kandungan gizinya. Akbar, sudah pucat, tampak tidak sehat, mana ada gizinya kalau sudah begitu. Aku biasanya kalau sudah pucat pasti merasa lelah dan tidak ingin berinteraksi dengan siapa pun, tapi Akbar masih tampak baik-baik saja meski pucat begitu.

"Sini!" ajak si Malik menarik Akbar tiba-tiba.

Aku tidak seharusnya kesal, tapi melihat orang lain menarik tangan orang yang kita sukai rasanya membakar dada sekali. Mau protes juga mereka sudah meninggalkan balkon.

Si Malik membuat Akbar duduk di sofa tempat kami kumpul bersama, sedangkan si empunya nama masuk ke kamar seperti tengah mencari sesuatu. Aku hampiri karena penasaran, lalu tidak lama cowok itu kembali dengan selembar obat berwarna kuning yang disodorkan.

"Buat lo. Kasihan bener gue lihat muka lo, Bar," ucap si Malik setelah vitamin c pemberiannya diterima. "Lo kayak gini bukan karena gue sering minta makanan kan? Nanti gue lagi yang disalahin karena bisa makan banyak dari lo, tapi lo sendiri malah kagak makan."

"Lah itu sadar. Akbar jadi sakit gini karena makanannya selalu dihabisin sama lo," timpalku masih menyimpan sebal.

"Enggak, kok. Gue baik-baik aja, beneran. Gue malah bakal lebih pusing kalau kalian berdua berantem terus," jawab Akbar dengan senyum tipis khasnya.

Memang sih setelah itu kami sempat tidak adu mulut, tapi adu ekspresi siapa yang paling menyebalkan. Kalau dipikir-pikir si Malik yang selalu celamitan ternyata bisa berbuat baik juga dengan memberikan obat yang dia punya, ya walau aku tidak dibagi dan gengsi juga karena kalau minta pasti Akbar yang malah akan memberikan bagiannya.

"Kumpul apaan nih sepi banget tuh meja?" tanya si Wahyu semringah.

Dia datang masih mengenakan setelan yang kami lihat waktu masuk tadi, ya kupikir ganti baju dulu karena cukup lama masuknya dari terakhir kali aku melihatnya pulang. Di tangan sudah ada kantung keresek putih, si Wahyu langsung menaruhnya di atas meja yang kebetulan sedang kosong, benar-benar kosong seperti lahan kosong.

"Itu apaan? Makanan, ya?" Kurasa sudah tidak perlu dijelaskan siapa yang bertanya.

"Tajem bener hidung lo kalau soal makanan, Mal," sahut si Wahyu heran.

Tanpa basa-basi aku dan si Malik langsung membuka plastik putih yang berisikan dua kotak kue cubit. Melihat dari warnanya sudah bisa dipastikan kalau dua kotak kue tersebut berbeda rasa, satu memiliki rasa coklat dan satu lagi berwarna hijau matcha.

Satu kue cubit coklat langsung masuk dalam mulut si Malik, si Wahyu juga memakan satu, sedangkan aku menyodorkan dua rasa sekaligus ke hadapan Akbar. Tadinya kupikir dia akan menolak, tapi cowok itu memilih satu varian rasa coklat, aku menyimpan varian rasa matcha di tangan karena harus memakan rasa serupa dengan apa yang Akbar makan.

Kalau suka sama seserong harus total kan? Apa yang dia makan, aku juga harus makan.

"Enak. Thanks," ucap Akbar pada si Wahyu yang langsung mengacungkan jempolnya.

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now