VII

728 73 1
                                    

Serangkaian gambar melayang masuk dan keluar dari pikiranku.

Kedai kopi. Hujan biru meninggalkan tetesan air di kaca toko. Sebuah novel dengan hanya volume pertama dan tengah.

Pola darah di dinding.


"Tidak ada belas kasihan di dunia ini."

Itu adalah suara ku yang lebih muda.

Betul sekali. Tidak ada yang bisa memaafkan diri mereka sendiri. Aku juga tidak akan memaafkan diriku sendiri.

Volume terakhir dari novel.

"Menulis novel adalah menulis orang."

Pria berkumis. Ada nada kebenaran dalam suaranya. Atau mungkin aku hanya ingin percaya itu.

Untuk menjawab pertanyaan itu, aku telah menginjakkan kaki di jalur yang panjang.

Suatu hari di sebuah ruangan dengan pemandangan laut, aku akan berjalan ke meja dan...

Ketika aku bangun, aku tidak tahu di mana aku sekarang.

Ada tembok di depanku. Dinding beton telanjang. Dinding yang gelap dan lembap, dengan tanda air hitam yang menetes, menodai warna materialnya. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi. Bahkan jika aku menoleh, yang bisa saya lihat hanyalah dinding itu. Aku tidak bisa membalikkan tubuhku.

Aku diikat ke kursi.

"Sebelum kita mulai, biarkan aku memberitahumu ini." Ada suara di belakangku. Aku pernah mendengar suara ini sebelumnya. "aku tidak suka kekerasan."

Aku ingat suara siapa itu. Itu polisi tua yang datang ke rumahku.

"aku tidak suka kalau orang menggunakan kekerasan. Aku juga tidak suka menggunakannya. Jadi anggap saja ini sebagai bisnis.

Suara sesuatu yang memotong angin.

Rasa sakit yang hebat mencungkil punggungku pada saat berikutnya. Kulitku robek, tulangku retak.

Sesuatu yang keras menghantam punggungku. Tongkat, pegangan senjata, atau mungkin blackjack.

Penyerang masih jauh dari pandanganku. Hanya ada rasa sakit yang menembus sarafku dan menembus otakku.

"Berhasil, kan?" pria itu mulai berbicara. Suaranya lembut, seperti sedang menceramahi anak kecil. "Aku bersikap lunak padamu. Aku tahu betul berapa banyak rasa sakit yang bisa ditoleransi seseorang, dan pada titik mana rasa sakit itu menjadi tak tertahankan. Aku telah menggunakan ini selama beberapa dekade.

"Masih ada hal-hal yang tidak kamu ketahui." kataku.

Suara pria itu terdiam sesaat, lalu dia berbicara dengan suara keras. "Apa?"

"Kamu tidak tahu bagaimana menyiksa." kataku. "Jika kamu akan menyakiti korbanmu, kamu harus mengajukan pertanyaan terlebih dahulu. Apa gunanya menyakiti mereka sebelum kamu bertanya? Kau hanya membuat kami berdua lelah."

Aku bisa merasakan dengusan tawa.

Mengikuti itu ada pukulan lain, kali ini di dekat leherku. Kilatan memantul ke seluruh tubuhku. Mulai dari leherku, rasa sakitnya terasa seperti setiap saraf di tubuhku ditarik keluar. Yang ini lebih kuat dari yang terakhir.

[Side A] Hari Aku Memungut Dazai [BSD LIGHT NOVEL]Where stories live. Discover now