II

1.1K 120 10
                                    

Kata-kata itu biasa-biasa saja seperti paket sisa yang tidak terjual yang berbaris di deli, setidaknya bagi pemuda ini. Aku bisa tahu dari menatap matanya. Saat dia mengucapkan kata "bunuh", itu tidak lebih dari kata biasa sehari-hari baginya. Sama seperti memotong kuku, atau pergi membeli lebih banyak rokok, kata-kata semacam itu.

"Bagaimana?" aku meletakkan gagang telepon, namun belum menutupnya dengan benar. Lalu aku berkata, "kamu punya lubang di sekujur tubuh. Kamu tidak dapat bergerak sedikitpun. sekarat. Kamu bahkan tidak punya senjata. Untuk membunuhku dalam kondisi seperti itu, butuh ada dua ratus dari kamu."

"Aku tidak butuh sebanyak itu." Dia berkata dengan suara dingin. "Aku dari Port Mafia."

Kata-kata itu saja sudah cukup.

"Port Mafia", aku dengan hati-hati memilih kata-kataku sebelum berkata, "Maka aku tidak punya pilihan selain menurut." Kemudian aku mengambil waktu dan diam-diam meletakkan gagang telepon.

"Itu bagus," dia terkekeh.

Jika dia benar-benar dari Port Mafia, aku harus berhati-hati bahkan untuk mengangkat atau menurunkan sendok di depannya. Saat lawannya adalah Port Mafia, sinonim dari kegelapan dan kekerasan, bahkan jika aku melaporkan ini dan berhasil melarikan diri hari ini, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Seorang manusia memiliki total sekitar dua ratus tulang. Tapi tidak aneh jika aku akan tercabik-cabik menjadi potongan-potongan daging.

Aku menatapnya selama sekitar tiga detik. Lalu aku pergi ke dapur. Aku membiarkan pintu terbuka sehingga aku bisa mengawasinya dari sana. Aku mulai membuat kopi di dapur. Menaruh ketel di atas api dan membasahinya dengan air. Aku menambahkan bubuk kopi, dan menuangkan air mendidih.

"Jika aku tidak diizinkan menelepon polisi, bagaimana dengan para dokter?" kataku, tetap menatap air.

"Apa yang telah aku lakukan hanyalah pertolongan pertama darurat. Jika tidak diperiksa oleh dokter yang tepat, kamu akan mati."

"Siapa Takut." Pria muda itu berbicara dengan suara yang sedikit terulur. "Sebanyak ini bukan masalah besar. Aku sudah terbiasa dengan luka."

"Apakah begitu? Maka aku akan menurut." aku mengaduk kopi dan menyetel pengatur waktu. "Bagaimanapun, tidak mungkin kurir biasa sepertiku bisa melawan iblis Port Mafia."

"Menjadi patuh itu baik. Jadi selanjutnya..."

Tiba-tiba, pemuda itu mulai batuk dan muntah darah. Aku segera berlari ke arahnya dan menoleh ke samping agar dia tidak tersedak darahnya sendiri. Aku memeriksa bagian dalam mulutnya. Aku tidak tahu dari mana asal pendarahan dalam situasi ini. Bisa jadi hanya luka di dalam mulutnya, atau bisa juga luka dalam. Aku tidak tahu.

"Pergi ke rumah sakit. Dapatkan perawatan. Kamu benar-benar akan mati." aku menyatakan.

"Itu sempurna kalau begitu." dia berbicara seperti berbisik. "Biarkan aku mati seperti ini."

Aku merasakan angin dingin melewatiku.

Aku melihat pemuda itu. Dia hanya menatap langit-langit. Tidak ada emosi, tidak ada niat. Ekspresinya datar saja, seperti orang yang baru saja menceritakan usianya. Aku tidak bisa mempercayai mata ku sendiri. Aku bahkan tidak merasa ada manusia di sana. Jika sekarang larut malam, bukan pagi yang menyegarkan, aku akan berpikir bahwa dia adalah hantu atau halusinasi.

[Side A] Hari Aku Memungut Dazai [BSD LIGHT NOVEL]Where stories live. Discover now