I (Satu)

605 139 1.1K
                                    

✤Happy Reading ✤

✤✤✤✤

Tok... Tok... Tok...

Bunyi ketukan di pintu rumah Asya membuat Elis kaget, siapa yang mengetuk pintu? batin Elis.

"Asya, buka pintunya, Nak," ujar Elis ke Asya, tanpa banyak bertanya Asya berjalan dengan tangan yang meraba ke dinding mencari keberadaan pintu rumahnya.

"Assalamu'alaikum," ucap sesorang pria yang ada di depan Asya.

"Wa'alaikumussalam, Om siapa?" tanya Asya, Asya memang tidak bisa melihat tapi di masih bisa mendengar suara itu.

"Boleh Om masuk?" ujar pria itu tidak menjawab pertanyaan Asya, dan ia malah meminta izin untuk masuk.

Asya mengangguk, kemudian ia merasa tangannya di bantu oleh seorang wanita paruh baya yang tidak Asya kenal sama sekali, tangan itu memegangnya sedikit kencang, membuat Asya merasakannya.

Elis pun ikut ke ruang tamu, Elis kaget karena yang datang adalah Ervan dan Rossa.

"Lho, Bu Rossa ko tumben kesini ada apa, ya?" tanya bunda Elis dengan alis yang terangkat satu.

"Jadi ini, Bu, kan pak Adam punya utang sama kita. Kita berdua sepakat sebagai pembayaran utang tersebut─bagaimana kita menikahkan anak kita?" ujar Rossa dengan nada sedikit tegas.

"Ap--a?" Elis terkejut, bagaimana bisa seorang istri tidak tahu jika suaminya dulu mempunyai hutang kepada orang lain?

Elis merasakan sesak pada dadanya. Ia memegang dadanya dengan gemetar, lalu, jatuh pinsan.

"Bunda?! Bunda?! Bunda kenapaaa?" teriak Asya kaget katika kedua kakinya dijatuhi kepala orang yang sangat dia sayang, yaitu bundanya.

Asya langsung terduduk dan mengangkat kepada bundanya ke pangkuannya.

"Nak, Bunda udah nggak bisa bertahan lagi ..." Elis menangis. Dadanya terasa sangat sesak. Untuk mengatakan sesuatu ia tidak kuat, hanya lima kata saja yang mampu di ucapkan Elis.

"Bunda ngomong apa sih? Bunda harus sama Asya terus!"

"Nak, bunda harap kamu mau ya dijodohkan.. Maafkan bunda," ucap Elis untuk terakhir kalinya.

"Bunda... Bunda kenapa sih kaya gini?, bunda janji bakalan sama Asya terus!" teriak Asya dengan air mata yang mengalir deras.

"Asya udah yaa, kamu jangan sedih kan ada tante yang sebentar lagi jadi mama kamu," Rossa mencoba menenangkan Asya.

"Asya pasti bahagia kan sekarang udah mau ke kota? " tanya pak Ervan dengan nada yang sangat lembut..

"Apa itu bahagia? Asya tidak pernah mendapatkan itu semua, buktinya Asya gabisa melihat. Asya aja sampe gabisa melihat bunda untuk terakhir kalinya... " ujar Asya dengan tatapan kosong seolah-olah memang dia tidak pernah merasakan itu semua.

"Nak, Sekarang bukan waktunya bersedih, ayo kita antar bunda kamu ke peristirahatan terakhirnya.." J
jawab Rossa dan membantu Asya berdiri, sedangkan Elis sudah di bawa oleh kerabat dan tetangga mereka.

"Inalillahi wainalilahi roji'un, Bunda..." ucap Asya sendu sembari menyebut nama bunda nya.

"Inalilahi wainalilahi roji'un, Elis." ucap Rossa mengikuti.

Jam-jam berlalu, Bunda Elis sudah dimakamkan di pemakaman terdekat. Desa tempat tinggal Elis tidak ada yang namanya tahlilan bersama. Mereka hanya memakamkan. Jikalau ada kegiatan tahlilan dilakukan sendiri dirumah masing-masing.

Love Story [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang