Bab 4

144 7 0
                                    

“Kak Shaka,” panggil Kyra dengan nada rendah.

Lelaki yang hendak merebahkan diri itu segera menatap daun pintu yang tertutup. Arshaka melirik malas. Pikirnya, Kyra akan berakting seperti apa lagi setelah tadi pura-pura perhatian memberikan sebaskom air hangat beserta handuk kecil untuk mengompres lukanya.

“Kak Shaka, bisa bicara sebentar, Kak?”

Arshaka sama sekali tidak peduli dengan seseorang di baliknya. Dia hanya ingin segera istirahat dan berharap bahwa kejadian tak terduga tadi hanyalah bagian dari rangkaian mimpi buruknya.

“Kak Shaka?”

Arshaka memilih mengabaikan Kyra. Lagi pula, hatinya tak sudi bertemu dengan gadis yang telah menyeret dan merusak nama baiknya. Dia sendiri langsung mengambil ponsel yang tergeletak di meja. Beberapa notifikasi pesan masuk belum dibuka menimbulkan rasa bersalah dalam hatinya. Gara-gara Kyra, dia mengabaikan seseorang yang paling Arshaka sayang.

“Kak Shaka, buka pintunya. Kyra tau Kakak belum tidur.”

Arshaka berdecak. Kali ini dia langsung duduk tegak. Padahal, pesan dari pacarnya baru dibuka belum sempat dibaca karena Kyra mengganggunya.

Arshaka menatap pintu dengan perasaan kesal. Akhirnya, pemuda itu memilih mengalah. Daripada membangunkan orang rumah dan mendatangkan masalah baru, lebih baik dia menghampiri Kyra sekaligus meminta alasan atas apa yang telah gadis itu lakukan.

“Apa?” tanya Arshaka setelah membuka pintu, lalu tangan kanannya mengantongi ponsel.

“Kyra mau bicara.”

“Sudah malam.”

“Please, Kak.”

“Tetap saja, sudah malam. Tidak baik seorang gadis datang ke kamar pria malam-malam.”

Kyra terdiam. Apa yang dikatakan Arshaka memang benar. Kyra melupakan sesuatu, bahwa di antaranya tidak terikat oleh hubungan darah. Namun, pikiran Kyra diisi kecemasan, yang ada di pikirannya, dia takut Arshaka tak menikahinya.

“Sorry, aku lupa kalau kamu bukan lagi seorang gadis. Lagi hamil, kan?”

Melihat Arshaka tersenyum miring, kedua telapak tangannya terkepal kuat secara refleks. Kedua matanya memanas. Kyra tak percaya kalau sosok yang selalu bertutur sopan itu bisa mengucapkan kalimat-kalimat tajam.

“Kak, bisa bicara sebentar di luar?”

Arshaka menatap sepasang mata indah gadis di depannya. Niat hati mencari keseriusan di sana, Arshaka malah terperanjat saat Kyra memanggil namanya. Arshaka terdiam, sudah berapa lama dia menatap mata Kyra.

Sesampainya di teras rumah, keduanya duduk di undakan tangga. Jarak di antara keduanya hanya terpisah tiga jengkal orang dewasa. Awalnya tak ada yang berbicara, hingga di menit selanjutnya, Kyra mulai bersuara.

“Kyra punya penawaran menarik buat Kakak seandainya Kakak mau menikahi Kyra.”

“Penawaran seperti apa?”

“Setelah menikah, Kyra mau kita berdua ngontrak. Kakak bisa bilang ke semua orang kalau kita ini kakak beradik, termasuk ke pacar Kakak.”

“Maksud kamu apa, Kyra?” Arshaka mengernyitkan dahi tak paham.

“Setelah kita nikah, Kakak punya kehidupan yang bebas seperti sekarang. Kakak nggak perlu khawatir sama pernikahan kita. Kakak masih boleh pacaran sama pacar Kakak. Kakak nggak perlu kasih nafkah ke Kyra karna Kyra bakal coba cari kerja. Intinya, kita kayak nikah kontrak. Setelah bayi ini lahir, kita bisa cerai, dan kehidupan kita kayak biasa lagi.”

Nikah tanpa CintaWhere stories live. Discover now