5. Aku Bilang Jangan!

14 2 0
                                    

Sudah cukup lama Tristan terdiam di depan rumah. Langit di atas sana sudah berwarna kemerahan, yang artinya sudah tiba waktunya senja. Ia tak beranjak sejak dua jam lalu, bahkan cokelat hangat yang ia bawa sudah habis. Udara sedikit dingin, namun menikmati sore di teras rumah tak begitu buruk. Siang tadi ia mendengar bahwa Azra jatuh sakit sejak semalam. Azra tak bilang secara langsung, namun ibunya yang sering bertemu ibu Azra tentu lebih tahu.

Genap tiga hari sejak pertemuan terakhir mereka denga hantu Ara. Wujud yang terakhir kali mereka lihat cukup membuat syok. Bagaimana tidak? Luka-luka itu tampak mengerikan, apalagi mengingat bahwa Ara bukanlah makhluk yang hidup, semakin menambah kengerian. 

Ia tak tahu sebab mengapa Azra bisa jatuh sakit tiba-tiba. Sepertinya tidak berhubungan dengan penampakan itu. Mengapa repot-repot bertanya jika ia bisa menjenguk Azra saat itu juga? Mereka kan tetangga? Sejujurnya Tristan sedikit tidak enak ingin menemui Azra. Mengirim pesan pun rasanya enggan. Entahlah ia tak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini.

Ia terjebak dalam situasi yang tak diharapkan, bahkan tak pernah terbayangkan. Sedikit banyak ini gara-gara Azra, namun menyalahkan sang sahabat tentunya tak akan membuat semua lebih baik. Maka ia memutuskan untuk diam sejenak guna menata pikiran serta hatinya. Ia tak ingin lepas emosi dan marah sebab teringat bahwa keterlibatannya tidak bersifat sukarela, namun karena terpaksa.

“Tristan! Ini ada telepon dari Azra!”

Tristan mendengar ibunya berteriak dari dalam rumah. Dengan segera ia membereskan gelas sisa cokelat hangat dan masuk untuk melihat ibunya bersantai menonton televisi. Telepon dari Azra belum sempat terangkat saat ia mendapati sebuah pesan, yang juga dari Azra. Dahi Tristan mengernyit, isi pesannya agak aneh, bukan tipikal ketikan Azra yang biasanya.

“Ibu, saat kemarin Ibu ke rumah Azra, apakah Ibu sempat bertemu dengannya?” tanya Tristan pada Ibunya.

“Tidak. Ibu hanya datang untuk menemui Ibunya. Tapi dia bilang, Azra terus mengingau dan menyebut-nyebut nama orang asing.”

Ada yang aneh. Wajar untuk seseorang mengigau sesekali, tapi apa pun yang terjadi saat ini tidak bisa dianggap biasa atau diabaikan begitu saja. Pesan singkat yang Tristan terima berisi nama tiga orang yang dua di antaranya diketahui oleh Tristan; Amalia, Reyhan, dan Satya.

***

Tristan masuk ke kamar Azra setelah mendapat izin dari ibunya. Tiba-tiba di luar hujan deras, namun karena hanya berjarak beberapa meter, Tristan nekat menerobosnya. Ia sampai walaupun bajunya sedikit basah oleh tetesan air. Di dalam kamar Azra, ia lihat si empunya sedang tidur. Hal yang tak pernah ingin Tristan lihat adalah posisi tidur Azra yang sebenarnya tidak umum. Lupakan, ia tak bisa mendeskripsikan bentuknya selain gambaran cacing kepanasan.

Sedikit kasar, Tristan menepuki pipi Azra yang terasa panas di tangannya. Ternyata orang ini benar-benar sakit, kupikir tidak bisa, ujarnya dalam hati. Di sisi ranjang Azra terdapat jendela yang menampilkan pemandangan samping rumahnya. Ada jarak sedikit dengan sebuah rumah kosong yang mungkin sudah sekitar sepuluh tahun ini tidak ditinggali. Lalu di seberangnya, terdapat jendela lain, yang tiba-tiba membuatnya tak sadar meremas keras-keras wajah Azra hingga ia terbangun.

Karena ada wajah Ara muncul di sana.

“Argh! Kau ini mau apa?!”

PLAK!

Azra memukul punggung tangan Tristan hingga pria itu menoleh padanya. Wajahnya pucat dan tampak kebingungan. Mungkin juga takut. Lalu Azra menepis tangan Tristan yang tak beranjak dari wajahnya.

“Kau mau apa? Tiba-tiba datang dan meremas wajahku seperti itu, kau pikir ini bantal?!” Azra masih marah-marah sampai detik Tristan meneguk ludahnya dan membuka mulut.

“Aku tidak tahu ini hanya perasaanku atau apa. Tapi kurasa hantu Ara sudah mulai memberikan teror. Dia muncul di mana-mana!”

Saat itu juga Tristan menutup tirai jendela Azra. Suara hujan menyusup di antara hening suasana yang tercipta di sana, Azra pun tak tahu harus berkata apa. Ia juga sama takutnya dan makin kacau saat menyadari ia sedang sakit, tapi malah diberitahu jika ada hantu. Kepalanya tiba-tiba pening. Saat bangun tadi ia tak merasakan apa-apa, tapi mendadak rasanya berat.

“Aku tidak tahu harus bagaimana selain berkata bahwa aku sedang sakit, Tristan. Sungguh mengecewakan aku tidak bisa ikut berpikir, namun kepalaku sungguh berat.”

Tristan menyadari kondisi itu segera. Ia membiarkan Azra kembali berbaring dan membantunya menaikkan selimut. Sudah hampir mendekati jam makan malam, namun Tristan harus memastikan sesuatu.

“Aku pinjam ponselmu, sebentar.”

Azra tak mengerti apa yang akan Tristan lakukan dengan ponselnya, namun ia menyerahkan benda pipih itu. Sejak tadi, bahkan kemarin, Azra terus saja menyimpan pertanyaan. Namun tak lama pertanyaan di kepalanya akan terjawab sendiri oleh fenomena yang seringkali terjadi. Entah itu oleh kemunculan hantu Ara, atau gelagat aneh Tristan, atau bahkan Tristan sendiri. Ide soal perhantuan ini berasal darinya, namun dilihat-lihat malah Tristan yang lebih tanggap.

“Kita harus pergi ke sana,” Tristan tiba-tiba berkata.

“Ke sana? Ke mana?” tanya Azra

“Ke alamat yang diberikan oleh pamannya Harin.” 

Azra mengerutkan dahinya sebab tak paham. “Memangnya paman Harin memberi kita alamat?”

Di sinilah Tristan menyesali keputusannya yang suka tidak terus terang. Azra jadi sulit diajak bertukar pikiran sebab ia memilih tak jujur pada Azra. Padahal Azra berhak tahu dan ia juga wajib tahu, lalu Tristna menepuk pundak Azra.

“Aku akan jelaskan pelan-pelan. Aku harap kau tak marah padaku.”

***

Esoknya hanya ada kemarahan Azra yang tak terbendung. Ia mendiamkan Tristan seolah tengah merajuk pada sebuah mainan yang tidak dibelikan Ibu. Tristan terus-menerus meminta maaf, via pesan bahkan di depan muka Azra saat ini. Namun Azra masih enggan membuka suara, ditambah kondisi tubuhnya yang belum pulih benar. Ia tak bisa berpikir jernih sehingga hanya marah satu-satunya cara merespon penjelasan Tristan.

Ia tak diberitahu soal jurnal, ia tak diberitahu soal alamat. Setelah ini, apalagi yang ingin disembunyikan oleh Tristan? Ia sudah seperti orang bodoh. Tristan beralasan bahwa ia harus menemukan solusi terlebih dahulu sebelum memberitahu Azra. Alasan macam apa itu? Yang namanya solusi sudah seharusnya dicari bersama, bukan sendirian. Jika begini Azra merasa pesimis pasal perhantuan ini akan segera usai.

“Jika kau terus begini, tidak akan ada yang selesai. Kau mencari tahu dan mencoba memecahkan semua sendiri, sedangkan kau tahu persis aku yang membawamu pada masalah ini. Aku merasa bodoh sekali.”

“Azra, tenang. Kau sedang sakit, aku tahu kau pasti sedang emosi sesaat. Aku benar-benar minta maaf karena terlalu arogan,” Sekali lagi Tristan mengiba.

“Tidak. Aku tahu jelas kau seseorang dengan ambisi untuk menjadi yang paling unggul. Kau hanya ingin mencoba sendirian sebab kau merasa aku tak membantu. Maka itulah yang akan kau dapatkan. Tinggalkan aku sendiri. Aku yakin kau lebih dari sekadar mampu untuk menyelesaikan kasus kematian Ara. Sen.di.ri.an.”













***
Hai, gimana bab kelimanya? Ada kritik dan saran yang ingin disampaikan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berani Coba?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang