4. Perlahan

12 2 0
                                    

Tidak ada hal istimewa yang dilakukan Azra hingga mampu membujuk Harin untuk memberikan informasi. Hanya sedikit kebohongan. Harin dengan senang hati membawa Azra dan Tristan menemui pamannya yang juga bekerja di perpustakaan. Sore itu saat perpustakaan lengang di hari Rabu, Azra bersama Tristan berjumpa denga Harin di sebuah ruangan; yang ia yakin betul adalah bagian kantor perpustakaan. Tertulis di pintu hanya staf yang diizinkan masuk. Di luar dugaan, beberapa pegawai mengenal Harin dan mereka saling sapa. Gadis berambut sebahu itu membawa mereka ke sebuah kubus bertuliskan ‘Kepala Bidang Pengelolaan Arsip’.

“Paman, maaf aku datang tiba-tiba dan membawa teman. Mereka ingin bertemu dengan Paman untuk membicarakan tentang tugas. Tapi aku tidak bisa menemani karena sebentar lagi aku harus pergi ke klub. Aku permisi ya.”

“Hati-hati, Harin. Ingat untuk selalu mengabari ayah dan ibumu, Nak!”

“Baik, Paman!”

Harin pergi dengan ibu jari teracung pertanda ia akan melakukan apa yang dikatakan sang paman. Pria itu melambai sebelum mengalihkan atensinya pada dua remaja asing di ruangan itu.

“Silahkan duduk, Nak. Apa yang bisa aku bantu untuk kalian?”

Hampir sama seperti yang Amalia ucapkan di awal dialog mereka beberapa waktu lalu. Sedikit banyak kalimat itu memberikan sugesti buruk bagi emosi Azra. Tapi ini bukan saatnya berpikir kemana-mana. Mereka harus fokus untuk menemukan titik terang kematian Ara serta kejelasan Amalia dan Reyhan.

“Maaf, Pak, kami mengganggu waktunya. Sebentar lagi jam pulang kerja dan kami pikir waktu yang tepat adalah di saat seperti ini.”

Azra diam sejenak seraya menatap Tristan meminta diberi keyakinan. Tristan mengangguk kecil sebelum Azra kembali bersuara.

“Kami akan jujur. Kami datang ke sini bukan ingin membahas perihal tugas. Karena kami tidak berkecimpung pada jurusan yang mengharuskan kami berurusan dengan perpustakaan. Maaf juga kami harus menyita waktu Bapak untuk menjawab pertanyaan kami.”

Lagi, Azra menjeda kalimatnya dan melirik ke arah Tristan. Pria itu menyiapkan sebuah recorder yang akan merekam seluruh percakapan hari ini. Mana tahu hari ini juga semuanya menjadi jelas.

“Ada apa, Nak? Kenapa berhenti? Apa yang ingin kalian tanyakan padaku?” Sebab Tristan maupun Azra tak segera melanjutkan percakapan itu, pria paruh baya di hadapan mereka menimpali.

“Pak, apa yang Bapak ketahui soal mayat perempuan yang ditemukan di perpustakaan ini tujuh bulan lalu?”

Hening. 

Baik Azra maupun Tristan sebenarnya membayangkan raut kaget atau mungkin tidak suka akan muncul di wajah Paman Harin. Namun daripada itu, ekspresi Paman Harin lebih menjurus ke arah bingung. Bisa jadi dalam kepalanya ia menduga-duga dari mana dua anak muda yang belum pernah ia kenal ini mengetahui soal peristiwa itu.

“Ini bukan berita rahasia yang harus ditutupi sebab kalian pasti mengetahui ini dari portal berita. Tapi apa yang membuat kalian penasaran? Sejauh ini tak ada seorang pun yang ingin tahu.”

Nah, tiba juga saatnya dua sejawat itu dihadapkan pada situasi ini. Jujur, untuk mengatakan alasannya bukanlah hal yang sulit. Namun dibanding itu, mendapat kepercayaan adalah tantangan yang sebenarnya. Terakhir mereka mencari tahu malah berakhir dengan memiliki musuh baru. Untung ada Harin yang bisa membantu mereka masuk ke sini tanpa harus bertemu Amalia. Tapi kali ini Amalia bukan halangan, melainkan Paman Harin, bisakah ia percaya pada mereka?

***

Hari beranjak malam. Baik Azra maupun Tristan sudah cukup lelah dari fisik dan mentalnya. Sebuah kesalahan besar mengungkit dan berhadapan dengan apa yang tidak seharusnya. Saat ini mengeluh juga bukan jalan keluar, apa yang digali harus ditutup lagi, bukan?

“Aku tidak tahu banyak, Nak. Jika yang kalian tanyakan adalah sebab Ara mati, aku tak tahu. Bahkan penemuan mayatnya di sini pun benar-benar sebuah ketidaksengajaan.” Wajah Paman Harin yang dihiasi kerut halus di kening itu tengah berkonsentrasi pada secarik kertas, menuliskan beberapa hal lalu menyerahkannya pada Tristan.

“Datanglah ke sini. Mungkin, kalian akan menemukan jawabannya.”

“Aku sudah ingin menyerah saja.” Azra merebahkan kepalanya ke atas meja belajar milik Tristan. Ada Tristan yang sedari tadi menambatkan pandangan pada kertas yang ia pegang.

“Sekarang kau sudah tahu kan, akibatnya mengusik yang tidak seharusnya.”

Tak ada niatan Azra untuk membalas. Ia memang sedikit banyak merasa bersalah karena iseng dengan idenya berburu hantu. Tapi fenomena kemunculan hantu Ara di luar dugaan Azra. Mereka bahkan tak memanggilnya, ia muncul sesuka hati dan menampakkan diri. Kebetulan saja korbannya mereka berdua. Tapi sejauh ini kemunculan hantu Ara bisa dihitung dengan jari. Ia tak sering menghantui Azra dan Tristan. Terakhir ia muncul adalah saat mereka membaca jurnal miliknya di rumah Azra. Harapan untuk mendapat informasi pasal peristiwa penemuan jasad Ara pun tak terwujud. Malah mereka mendapatkan teka-teki baru yang diberikan oleh paman Harin.

“Apa kau merasakan sesuatu? Sepertinya, kamarmu mendadak menjadi dingin.” Kata Azra. Ia menggosok tengkuknya merasakan rambut-rambut halus di sana meremang.

“Kau benar. Aku tidak menyalakan pendingin udara atau membuka jendela.”

Seketika keduanya terdiam. Tidak ada yang berubah dari kamar Tristan kecuali yang dikatakan Azra. Tapi kamar itu tiba-tiba seolah berada di dimensi lain. Atmosfernya sangat berat dan membuat sesak. Gelisah mulai merambati benak mereka berdua, rasanya ada yang tak beres. 

Cahaya lampu meredup, dan Ara di sana dengan wajah sendunya.

Azra kesulitan bernapas. Tangannya gemetar meraih kaus belakang Tristan yang duduk di dekat kaki meja. Ia rasa, Tristan sama terkejutnya. Wajah Ara, selain sendu, juga dipenuhi oleh luka sayatan menganga yang kotor oleh tanah. 

”Jangan datang ke sana … “

“HAAHH!”

Keduanya kembali ke dunia nyata. Karbondioksida berlomba keluar masuk dengan cepat dari saluran pernapasan. Sama sekali tak ada pergerakan yang memungkinkan napas mereka bak di dalam air, namun mereka terengah seolah habis berlari jauh.

Tristan bisa merasakan tangan Azra bergetar. Tentu saja bukan hanya Azra yang takut, lihat saja bulir keringat sebesar telur buaya di dahi Tristan. Ini sudah benar-benar meresahkan. Ara mungkin tak menyakiti mereka, tapi kehadiran entitas yang tidak seharusnya akan memengaruhi kondisi mental mereka jika dibiarkan. 

Lalu apa tadi yang ia bilang? Mereka tak boleh ke sana. Tapi secarik kertas berisi alamat yang semenjak tadi tak lepas dari pegangan Tristan kini lenyap. Ia tersadar saat tak merasakan tekstur kertas di telapak tangannya.

“Kertasnya tidak ada. Apa kau lihat?”

Azra yang ditanya demikian, mengerutkan dahinya. Ia tak merasa mengambil alih apa-apa dari Tristan. Ia bahkan belum sempat melihat apa yang tertulis di sana.

“Aku tidak lihat. Sejak pulang kau bahkan tidak memberitahuku apa isinya.”

Sejenak, keduanya saling pandang, menyadari jika misteri masih belum bisa dipecahkan secepatnya.










***
Hai! Gimana bab keempatnya? Ada kritik dan saran yang mau disampaikan?

Berani Coba?Where stories live. Discover now