3. Benar Begitu?

26 4 0
                                    

Tristan dan Azra rasanya sudah diujung rasa frustrasi. Pasal perhantuan ini sudah sangat mengganggu bahkan hingga terbawa mimpi. 

Ah, hiperbola saja dulu.

“Orang itu menyebalkan sekali. Aku tidak suka dia.”

Azra tak berhenti mengomel sejak keluar dari perpustakaan. Kedua alisnya bahkan hampir menyatu karena sebal. Sedangkan Tristan hanya menggumam agar Azra merasa ada yang menanggapi ocehannya. Jauh di benak Tristan ia menyetujui beberapa opini mengenai orang yang sejak tadi jadi bahan omelan Azra; Amalia.

“Tidakkah kau merasa aneh dengannya? Mengapa dia bersikeras bilang tidak tahu? Padahal jelas-jelas di awal dia bilang bahwa Ara ini sahabatnya.”

Kini gestur mengelus dagu bak kakek-kakek dipraktekkan oleh Azra. Ia seringkali melakukan kebiasaan yang tidak terduga. Seperti saat ini. Tristan hanya bisa menghela napas pasrah saat Azra mengelus tiang lampu lalu lintas tempat mereka akan menyeberang. 

Sejujurnya Tristan sama kepikirannya dengan Azra. Pertanyaan seputar Amalia berkelebat sejak tadi. Satu masalah signifikan adalah mereka tak punya orang lain yang bisa mereka tanyai selain Amalia. Mereka tak mengenal pegawai perpustakaan yang lain. Jika saja ada, maka Tristan tidak akan ikut pusing.

Lampu sudah hijau bagi penyeberang. Azra dan Tristan berjalan beriringan dalam diam. Deru mesin kendaraan mengisi perjalanan mereka hingga berhenti di sebuah halte, menunggu bus untuk pulang. Diam mendominasi lagi. Baik Azra maupun Tristan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Azra menatap ke luar jendela. Ia masih merasa kesal atas sikap Amalia dan tentu saja curiga. Namun ia hanya mengungkapkan sedikit pikirannya pada Tristan. Tak mau menambahi daftar aneh yang harus dipikirkan pria itu. Sejujurnya ia penasaran dengan jurnal yang dibawa oleh Tristan. Tapi nanti saja tanyanya. Mungkin Tristan sedang lelah. Apalagi tepat saat Azra menoleh ke sampingnya, Tristan tampak menutup mata seraya bernapas teratur. Iya, nanti saja tanyanya.

“Kau mau menginap di rumahku? Ibu bilang akan memasak sup jamur untuk makan malam. Kau bisa tinggal dan ayo ceritakan soal jurnal itu!”

Tristan tersentak atas kalimat terakhir Azra. Ah, ia lupa membahas pasal jurnal yang ia bawa diam-diam dari perpustakaan. Dan sup jamur kedengarannya lumayan.

“Baiklah.”

Sepulang dari perpustakaan, keduanya memutuskan menginap di rumah Azra untuk sekali lagi membahas tentang apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Dimulai dengan Azra yang mengulang kembali semua omelan seputar Amalia, lalu berlanjut membahas agenda klub pecinta buku yang akan mengadakan kegiatan membaca bersama di perpustakaan kota. 

Dan saat itulah, seolah ada lampu seratus dua puluh watt menyala di atas kepala Tristan.

“Dari mana kau tahu jika klub pecinta buku akan mengadakan kegiatan di sana?” Tristan mengajukan tanya.

“Aku tahu dari teman sekelasku, Harin. Dia ikut klub pecinta buku. Saat mengobrol denganku kemarin dia bilang begitu.”

Mungkin awalnya Azra yang begitu bersemangat membawa Tristan dalam masalah hantu-hantu ini. Namun entah sejak kapan jadi Tristan yang menyumbang banyak ide untuk keberlanjutannya. Mungkin sejak ia takut ke kamar mandi malam itu, ia lebih memilih berpikir keras untuk segera menyelesaikan semua sehingga bisa pergi ke kamar mandi di tengah malam dengan tenang. 

Atau mungkin tidak.

“Apakah acara ini boleh diikuti orang di luar klub?”

“Tidak. Hanya kenalan dan anggota klub saja yang boleh ikut.”

Hm, tidak seperti dugaan Tristan. Sebenarnya ia bisa saja mencari tahu bersamaan dengan mengikuti kegiatan klub itu jika orang luar boleh ikut. Tapi ….

Berani Coba?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang