"Dia menyebalkan," ujar Louis memutar matanya. "Kau mempunyai dua sahabat yang sangat berbeda."

"Tentu saja. Ayo masuk." Tanganku menarik tangan Louis untuk ikut masuk ke kamarku. Dulu, kami menyebut kamarku sebagai markas. Jadi, jika harus memilih, kami lebih memilih untuk berkumpul di sini dibanding di luar.

Liam sudah dalam posisi tidur di atas tempat tidurku, sehingga membuat Louis mendesis. Akhirnya, Louis memainkan ponselku sementara aku berbaring di sebelah Liam sambil menonton. Entah apa yang Louis lakukan dengan ponselku, tetapi kujamin pasti tidak beres.

Tiba-tiba Liam membuka setengah matanya, menatapku. Pun aku menutup matanya kembali dengan tanganku dan memainkan rambut Liam sesuka hatiku. Mungkin hanya aku yang berani dan hanya aku yang diperbolehkan memperlakukan dia seperti ini. Aku merasa itu benar, sampai aku teringat Sheila. Kalau Liam dan Sheila mempunyai album foto bersama, berarti ada sesuatu? Mungkin di masa lalu?

"Li," panggilku. "Kau kenal Sheila?"

Mendengar nama Sheila, langsung saja Liam, juga Louis, menengok padaku berbarengan. Aku berkata lagi, "aku tau tentang album foto kalian."

Liam menggeleng, lalu mengatupkan matanya lagi. Itu artinya ia tidak mau membicarakan soal itu sekarang. Mungkin karena tidak suka mengungkit-ungkit masa lalu, atau karena ada Louis di sini.

Aku tetap memainkan rambut Liam, sekarang aku menyisirnya dengan jari-jariku. Otakku mencoba mengingat masa lalu - masa lalu kami, mencoba mengingat apakah ada Sheila sebagai bagiannya.

Tidak. Aku tidak mempunyai ingatan tentang seorang bernama Sheila.

Atau ia teman Liam sebelum ia masuk sekolah dasar? Bisa jadi. Aku baru mengenal Liam saat sekolah dasar. Tetapi, kenapa Liam bersikap dingin terhadapnya?

Ah, entahlah. Aku tidak mau memikirkannya.

Setelah beberapa saat, Ibuku yang baru pulang masuk ke kamarku. Dia tersenyum melihat aku bersama Liam sementara Louis duduk di sofa. Liam yang sedang tidur, atau lebih tepatnya memejamkan mata sambil berbaring, langsung duduk dan memberi salam pada Ibuku. Begitu juga Louis.

"Jadwal penerbanganku ternyata malam ini," ucap Ibuku. "Aku harus berangkat sekarang."

"Serius? Jadi, aku akan sendirian malam ini?" tanyaku.

"Aku belum memberitau keluargaku," balas Liam. "Aku tidak bisa menginap."

"Tenang saja, aku akan terus di sini, Marz," cengir Louis. Ibuku balas tersenyum padanya, kemudian menghilang dari kamarku selama beberapa menit kemudian kembali lagi.

"Aku akan pulang mungkin sebulan atau dua bulan sekali. Tiket pesawat tidak murah." Ibuku mencium pipiku dan memberi sedikit nasihat pada Liam dan Louis sebelum ia memasuki taksi yang sudah dipesannya.

Sebenarnya, jika tidak ditemani juga tidak apa-apa. Aku sudah sering tinggal sendiri di rumah jika Ibuku pergi, karena aku anak tunggal. Daripada bersama mereka, sendiri lebih aman buatku. Apalagi jika harus bersama Louis, aku tidak akan bisa tidur tenang karena ia selalu membuat kegaduhan, sekalipun ia sedang tidur. Selalu.

"Kau akan pulang sekarang, Liam?" tanyaku sementara Louis sedang melambaikan tangannya pada taksi Ibuku yang sebenarnya sudah tak terlihat. Liam mengangguk.

"Peluk aku," ucap Liam membuat Louis langsung menoleh. Aku terkekeh, lalu kedua tanganku memeluk tubuhnya. Aku suka Liam. Ketika dia memelukku, semua terasa damai. Aku tidak mau melepaskan pelukannya. Ini terlalu nyaman dan wangi Liam membuatku mengantuk. "Bye, Marz."

Setelah Liam mengatakan itu, mataku menangkap beberapa kilat yang sepertinya baru bersinar. Entah itu kilat apa, tetapi rasanya bukan petir. Entahlah.

LILOWhere stories live. Discover now