BAB 24: MAU TIDUR PUN SYULIT

46 4 2
                                    


"Aku harus melewati penderitaan selama tiga puluh hari, Teh. Dan penderitaan itu dimulai sejak subuh tadi," buka Dipa.

"Engke heula." Teh Rina kemudian membuka laci mejanya dan mengambil sestoples kecil keripik singkong. "Ngobrol kalo enggak ngemil asa teu ngeunah. Lanjut, Dip."

****

Kontrakan Dipa, pukul 4 subuh tadi.

Selama ini, Dipa tidak pernah mengeset alarm bangun tidur. Syaraf-syaraf tubuhnya yang akan membangunkan Dipa secara alamiah paling telat pukul 06.00 sebagai hasil kebiasaan yang sudah menahun. Karena itulah, di hidup Dipa, salat subuh yang harusnya dilakukan saat matahari belum terbit, seringkali bergeser ke salat sebangunnya pagi. Pengecualian terjadi pada hari ini. Dering alarm benar-benar memekakkan telinga, membuat dirinya setengah melompat dari kasur. Dipa sengaja memasang alarm sebagai bentuk kepatuhan terhadap jadwal workout yang diberikan Om Genta. Masih belum terbang dari ingatan, betapa intimidatifnya tatapan Om Genta, tatapan yang anehnya seperti mengeluarkan suara: Dip, kalau kamu enggak mematuhi jadwal ini, muka, tangan, dan kakimu bakal ta' kumpulin jadi satu!

Dengan kesadaran yang masih separuh, dengan mata yang masih lengket, Dipa bergerak mematikan alarm gawainya dan membanting tubuhnya kembali ke kasur. Secara instan dia mengganti tujuan hidupnya: tidur lima menit lagi. Dan, Dipa merasa Tuhan sepertinya memang tidak suka ada manusia seenak udelnya mengganti cita-cita setelah sambungan video call dari Ajeng masuk.

"Hmm?" respons Dipa super malas.

"May yipa uah maun?"

"Jeng, sikat giginya diselesaikan dulu baru ngomong."

Ajeng langsung berkumur dan kembali on cam. "Mas Dipa udah bangun?"

"Menurut Ibu Ajeng Gantari yang senyumannya seelok matahari musim semi, gimana?" jawab Dipa retoris yang menimbulkan efek malu-malu anak ayam pada Ajeng. "Kamu tuh video call kok sambil sikatan?"

"Kalau aku tunda, takutnya lupa, Mas. Yowes buruan cuci muka, salat, terus olahraga ya! Go, go, go!"

Sambungan ditutup. Dipa melepas napas panjang sekali sebelum memaksa dirinya keluar dari lembah selimut dan pergi ke kamar mandi. Air wudu cukup untuk membuat kesadarannya menyentuh angka 100 dalam skala 1-100. Setelah menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, Dipa langsung menyalakan laptop, membuka laman Youtube, dan mengakses video gerakan workout yang sudah ditandai. Selain itu, dia juga menyiapkan tripod khusus ponsel untuk merekam kegiatannya.

Sesuai workout plan, di hari pertama Dipa akan melakukan empat macam gerakan yang memperkuat tubuh bagian atas. Tricep dips, push up, side plank, dan plank ups masing-masing 10 hitungan. Tiap latihan punya khasiat tersendiri, dari menguatkan otot lengan, hingga otot perut. Dari keempat gerakan tersebut, push up adalah gerakan yang paling Dipa kenali. Dahulu kala, dia sering melakukannya ketika menjalani orientasi mahasiswa. Bukan demi meningkatkan stamina, tetapi dalam rangka menjalani hukuman dari senior.

Gerakan tersulit dan paling merepotkan jatuh pada plank ups. Dipa harus mengambil posisi awalan seperti push up. Kemudian, secara bergantian siku kanan dan kirinya ditekuk. Dan, secara bergantian pula tangan Dipa kembali ke posisi semula. Selama memenuhi 10 hitungan, terdengar bunyi kretek-kretek badannya. Rupanya, tulang-tulang Dipa yang membatu sedang bereaksi.

Ketika melihat tayangan peragaan dari Youtube, semua gerakan tampak sepele. Namun, berbeda 180 derajat ketika Dipa melakukannya. Masalahnya, Dipa melupakan detail penting bahwa seorang instruktur tentunya sudah mengarungi jutaan gerakan latihan dalam hidupnya. Badannya pasti sudah tertempa oleh waktu sehingga otot-ototnya tampak begitu menawan. Otot-otot yang jika dimanfaatkan untuk mengangkat sesuatu, sekiranya mampu mengangkat harkat dan martabat negara di mata dunia. Kini, Dipa merasa seolah-olah sebagian dari dirinya memisahkan diri, berubah menjadi algojo, dan memukulinya hingga babak belur.

BERBURU RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang