BAB 8: PETA BERBURU RESTU

47 9 1
                                    


Saat berhadapan dengan tengkleng kambing, Ajeng membuang jauh-jauh table manner, beauty manner, dan seluruh etiket yang berlaku. Tidak peduli posisi cepolnya bergeser, mulutnya cemong, keringat di pelipis yang mengucur karena pedas, gadis Jawa itu tetap khusyuk menyesap tulang belulang kambing. Baginya, memakan tengkleng kambing—menu favoritnya—adalah salah satu bentuk pengalaman spiritual, penyucian diri, membersihkan sel kulit mati, dan kenikmatan paripurna. Adalah Dipa yang memutuskan menggiring pacarnya ke restoran sate Solo yang ada di daerah Jakarta Selatan, lima belas kilometer dari gedung pernikahan Hapsari, setelah sadar bahwa kelakuannya membuat kepala Ajeng tumbuh tanduk.

"Jeng, Mas ganteng gak?"

"Ganteng dong."

Dipa bernapas lega. Jawaban itu menjadi parameter suasana hati Ajeng yang sudah baik. Pernah suatu waktu, ketika kekasihnya tengah kesal luar biasa, Ajeng menjawab dengan kata "ngaca" berdesibel tinggi untuk pertanyaan yang sama. Ajeng yang damai memang selembut Putri Solo. Namun, Ajeng yang naik darah adalah Putri Solo yang kakinya terinjak sepatu bot.

"Masakan di sini emang enggak pernah mengecewakan ya, Mas," puji Ajeng dan Dipa setuju. Di Jabodetabek, banyak rumah makan yang menjual olahan kambing khas Solo, tetapi hanya restoran ini yang punya cita rasa sama dengan kampung halamannya. Kalau diukur dari Bogor, lokasinya terbilang jauh—50 km—tetapi tempat makan ini telah teruji secara empiris mampu menghilangkan kedongkolan Ajeng. Jika kekasihnya itu merajuk, Dipa tinggal menerbangkannya ke sini. Ajeng pun bahagia lagi.

"Maafin Mas ya, Jeng, udah bikin kamu sebel."

Ajeng mengangguk. "Aku juga yang salah, maksa-maksa kamu ikut padahal aku tahu Mas Dipa enggak suka kondangan. Maafin aku juga, tadi agak ngambek."

"Enggak apa-apa. Tapi jangan ngambek sering-sering ya. Apalagi kalau ngambeknya di Bogor."

Ujung alis Ajeng turun. "Kenapa memangnya?"

"Ongkos tol, bensin, sama makannya mahal, Jeng. Kalau terlalu sering, Mas takut tiap hari bakal makan nasi sama kecap."

"Mas, kamu ta' ulek lho lama-lama," balas Ajeng gemas. Dipa senang pacarnya telah kembali. Dia lalu mempersilakan Ajeng untuk melanjutkan ritual pemujaan daging kambing.

Ketika Ajeng asyik mengulik daging yang menempel pada tulang, pikiran Dipa mulai berkhayal tentang masa depan, tentang rutinitas keluarga kecil mereka. Hari dimulai ketika teh pagi menyapa Dipa di rumah kecilnya, teh buatan sang istri yang penuh cinta. Mereka lalu sarapan pagi bersama. Mulut mulai mengecap rasa, sementara telinga mulai disusupi alunan tembang Jawa. Pagi-pagi harus full musik biar sepanjang hari full senyum. Selesai sarapan, mereka berangkat kerja bareng. Pulangnya juga harus bareng. Kala senja tiba, giliran teh sore menemani mereka di teras, bercanda tawa, menyapa tetangga yang lewat, membahas utang negara, sambil melihat Margono dan anak cucunya yang sibuk sendiri. Malamnya, jika malas masak, Dipa dan Ajeng bakal wisata kuliner Bogor. Dan, sebagai penutup hari yang indah itu, mereka adu panco di kamar. Begitu seterusnya, berulang-ulang, hingga menua. Namun, itu semua bisa terwujud apabila Dipa mendapatkan satu hal.

"Kenapa, Mas Dip?" tanya Ajeng setelah mendapati Dipa yang menerawang.

"Kapan Mas bisa ketemu Bapak, Jeng?"

Sebelum menjawab, Ajeng menaruh tulang yang ada di tangannya ke atas piring, mengambil tisu, dan mengelap bibir cemongnya. Obrolan serius tidak bisa disambi memamah biak. "Jangan langsung ke Bapak, Mas."

Dipa mendekatkan tubuhnya ke tepi meja, lalu bertanya bukankah kunci utama restu ada di Bapaknya?

"Gini-gini, Mas. Ta' jelasin dulu kondisi keluargaku gimana, ya. Jadi Bapak itu anak pertama dari empat bersaudara."

"Bapakmu punya adik empat, toh? Banyak juga ya, Jeng. Hmm..., tapi memang orang zaman dulu anaknya banyak-banyak ya. Kalau kamu mau punya anak berapa, Jeng? Kembar lima mau?"

"Emange aku kucing. Eh, tapi kok Bapak adiknya empat sih? Empat bersaudara, Maaas..."

"Empat bersaudara kan artinya punya empat saudara, Jeng."

"Ngawur. Empat bersaudara itu Bapak juga diitung, Mas."

"Masak sih?"

Ajeng lantas menjelaskan bahwa terminilogi empat bersaudara berarti ada empat anak manusia yang saling bersaudara satu-sama lain. "Empat orang," tekan gadis itu lagi. "Kalau merujuk defini Mas Dipa, di mana Bapak punya adik empat, artinya itu lima bersaudara, Mas." Sunyi timbul sejenak, Ajeng melirik ke atas, mulai ragu akan perkataannya sendiri. "Iya, bener gitu, Mas."

"Kalau Bapakmu itu anak ke dua, gimana, Jeng?"

Ajeng kemudian menghitung lewat jemarinya, mirip anak SD yang ditanya soal-soal penjumlahan. "Lima... eh, ya tetep empat bersaudara, Mas! Aaah, kok aku jadi bingung."

Dipa tergelak. Dia suka melihat Ajeng yang ribet sendiri. Imut sekali seperti Margono yang dilepas ke labirin.

"Wis, intinya gini, Mas. Bapak itu punya tiga orang adik. Jangan didebat lagi ya. Aku enggak mungkin salah, wong itu bapakku," tukas Ajeng menutup diskusi selingan yang maha penting itu, lalu mengembalikan ke fokus awal. "Bisa dibilang, secara umum keluarga Bapak itu kompak, Mas. Saking kompaknya, pilihan-pilihan hidup om, tante-tanteku, bahkan aku sendiri dirembug tuntas bareng-bareng. Kalau ada isu, Bapak langsung nggelar konferensi meja kotak. Makan malam sambil musyawarah."

Dipa menahan diri untuk tidak bertanya apakah di dalam konferensi tersebut turut mengundang perwakilan dari Belanda, dan bersama rasa ibanya dia memilih untuk berkomentar, "Hidupmu terkekang dong, Jeng? Apa-apa harus disidang."

Ajeng menggeleng. "Memang sih, semua keputusan hidupku itu hasil urun rembug Bapak, Ibu, Om, dan Tante-tanteku. Dari milih sekolah, jurusan kuliah, pekerjaan, semua. Tapi, enggak seekstrem yang kamu bayangkan kok, Mas. Rembugannya santai kok, arahan mereka masuk akal semua, dan pastinya buat kebaikanku. Jadi, ya wis, aku enggak ada pilihan lain selain manut."

Ternyata, masih banyak aspek dalam hidup Ajeng yang belum diselami Dipa.

"Mas jadi nyesel, Jeng. Tiga tahun kita jalan, tapi Mas baru tahu gimana keluarga besarmu. Selama ini kita ngobrolin apa sih? Kalau aja dulu kita sering mbahas ini, mungkin Mas bisa memperlakukan kamu dengan lebih baik."

Jemari Ajeng bergerak menyelimuti punggung tangan Dipa. "Kamu sudah baik banget kok, Mas. Kita belajar bareng-bareng. Aku aja tahu tentang keluargamu baru-baru ini, Mas, pas kamu cerita tentang pernikahan Mbak Raras. Selama ini kita emang lebih banyak saling memahami kepribadian masing-masing. Jadi, jangan mikir yang enggak-enggak ya, Mas."

Dipa mengangguk. "Kamu kok kayak almarhum Mbahku, Jeng. Pinter mendamaikan hati."

"Asem ik!" Ajeng melempar tangan Dipa. Yang dilempar tangannya malah cekikikan.

"Jeng, kalau semua isu dibahas bareng-bareng di keluargamu, berarti waktu kita jadian itu juga dibahas, dong?" telisik Dipa.

"Iya, dibahas kok, Mas."

"Terus?"

"Ya, kita udah jalan tiga tahun berarti gimana?"

"Berarti Mas udah direstui?" timpal Dipa. Ada secercah harapan muncul.

"Iya, sebelum mereka tahu kalau Mas Dipa enggak mau ada resepsi."

Harapan Dipa mengkeret. Perkataan Ajeng membantingnya lagi ke kenyataan bahwa prinsipnya memang bukan hal yang bisa diterima semua orang. "Maka dari itu, Mas Dipa mau berburu restu, kan? Kita mulai pelan-pelan ya, tahap demi tahap, jangan ujug-ujug ngadep Bapak."

"Logis, Jeng."

"Kita mulai dari Tante Citra ya, adik bungsu Bapak."

Kepala Dipa manggut-manggut. Sebuah pertanda bahwa argonya sudah mulai berjalan.

****


BERBURU RESTUWhere stories live. Discover now