BAB 12: APA SEBENARNYA MAUMU, DIP?

39 6 1
                                    


Dulu, demi menyelamatkan kuliahnya yang nyaris gagal gara-gara sang Ayah terlilit utang, Dipa rela bekerja sambilan apa pun. Pokoknya, selama tidak mencuri, selama tidak menjual diri, dan selama matanya menangkap bayangan uang melambai, Dipa langsung menerkamnya. Sebutlah agen pulsa, penjaga fotokopi, penjaga warnet, pelayan rumah makan, calo KTP, semua pernah dia jamah. Namun, ada satu pekerjaan yang menurutnya paling memberi dampak signifikan terhadap pengembangan soft skill-nya, yakni agen multilevel marketing produk obat cina. Selain mentalnya tertempa oleh berbagai cibiran dan penolakan, Dipa belajar satu hal: bagaimana melakukan presentasi yang persuasif. Sekarang, jurus itu sedang diimplementasikan di hadapan Tante Citra.

"Ini perencanaan jangka panjang, Tan. Jika Warung Hik Yu Citra dijadikan waralaba dan seluruhnya untung, bukan enggak mungkin dalam dua sampai tiga tahun, Tante bisa beli kapal pesiar," ucap Dipa semeyakinkan orang-orang yang menceritakan kisah suksesnya di sebuah seminar gratis MLM.

Malam itu, Dipa dan Ajeng menyambangi Tante Citra lagi guna memaparkan hasil kerja keras mereka. Mereka menemui wanita berambut pendek itu bukan tanpa persiapan. Satu hari sebelumnya, mereka sudah mengatur strategi, merancang sistematika presentasi, dan melatihnya. Rencanaya, Dipa akan memulai dari gambaran umum tentang ide besarnya terhadap bisnis kuliner Tante Citra, dilanjutkan dengan hasil pencarian lokasi, rencana bisnis, dan ditutup dengan doa bersama. Masing-masing aspek sudah diasah sedemikian rupa sehingga—menurut Dipa—Tante Citra bakal kejang-kejang terkesima. Dan di ujung, restu akan didapatkan.

Dengan wajah tenang, Tante Citra merespons ucapan Dipa. "Kamu ngerti biaya rata-rata bahan bakar kapal pesiar pertahunnya, Dip?"

"Hmm..."

"400 ribu USD. Berapa rupiah coba?"

"Hmm..." Dipa kedip-kedip seperti robot rusak.

"6 Milyar Rupiah. Kalau ta' beliin lem korea, kira-kira dapet berapa, Dip?"

"Mungkin bisa bikin penduduk satu kabupaten lengket, Tan."

"Nah, makanya kapal pesiar wis pasti enggak relevan. Terlalu mahal. Mending beli pesawat."

"Hmm, saya enggak salah denger kan, Tante? Tapi, baiklah. Pesawat juga boleh. Toh, intinya maksud saya kalau waralaba Tante laba semua, Tante bisa mendapatkan apa pun."

"Kamu tahu biaya bahan bakar pesawat per tahun, Dip?"

Capek, deh.

"OKE, Tante," potong Ajeng sebelum pembicaraan ini semakin keluar jalur. "Sepertinya kita bisa langsung fokus ke rencana buka cabang di Bogor. Coba Mas Dipa jelasin business plan kita ke Tante."

Ini yang Dipa tunggu-tunggu, ia siap menguraikan seluruh isi kepalanya. "Seperti yang Tante tahu, kita sudah dapat lokasi yang oke banget. Penyewa-penyewa sebelumnya rata-rata pengusaha kuliner. Interiornya sudah sangat mendukung, dan yang paling penting ada area dapurnya. Tinggal kita dekorasi sesuai mau Tante. Lokasinya strategis banget, area kampus. Akses ke lokasi juga gampang, jalan lebar, area parkir luas. Secara garis besar, untuk lokasi pokoke sudah cetar menggelora. Selanjutnya, yang enggak kalah penting adalah business plan, dan kami sudah merancangnya buat Tante. Ada banyak hal yang perlu didefinisikan, Tante. Pertama, keunikan produk. Menurut saya, produk Tante sudah spesifik sekali, angkringan, dan itu bagus. Apalagi Tante punya menu baru, sate kere, yang bisa dijadikan ujung tombak di Bogor. Dan, bisnis Tante itu bisa jadi solusi buat para perantau Jawa yang kangen dengan nasi kucing, sate usus, wedang jahe, dan segala suasananya. Masalah keuninkan, no issue. Lalu kita juga sudah melakukan analisis pasar walau belum menyeluruh. Satu-satunya kompetitor terdekat Tante mungkin adalah warung kopi dan burjo, dan kalau melihat skala warung hik Tante, menurut saya warung kopi dan burjo enggak bakal teralu mengganggu. Kemudian, strategi promosi. Karena lokasinya di dekat kampus, konsumennya pasti kebanyakan ya anak muda. Artinya, promosi via media sosial kudu gencar. Kita juga bisa bikin promo-promo yang mensyaratkan mereka untuk posting di Instagram, Tiktok, Twitter, dan medsos lain. Dan yang terakhir, kebutuhan biaya operasional dan sumber daya manusia. Silakan Tante lihat." Sebagai penutup ocehan yang panjangnya kalau ditarik bisa sampai Sukabumi, Dipa menyerahkan dokumen perencanaan yang sudah dia jilid rapi kepada Tante Citra.

Saat membolak-balik halaman dokumen, senyum Tante Citra tersungging. Senyum yang memompa semangat Dipa. Kata-kata yang dia umbar ternyata membuahkan hasil positif. Pria dengan jambul menjulang tinggi itu yakin bahwa Tante Citra tengah terbuai akan ide-idenya. Dipa pasti tampak brilian di mata Tante kekasihnya itu. Kepercayaan dirinya meningkat hingga menyentuh langit. Ekspektasinya langsung membubung tinggi.

"Bagaimana, Tan?" tanya Dipa memvalidasi isi benaknya.

"Boleh juga. Tapi ada satu hal yang Tante pengin tahu. Sebenarnya, di balik ini semua, apa mau kamu, Dip?"

Segala gegap gempita di kepala Dipa mendadak sirna ketika mendengar pertanyaan itu. Sorot mata tajam Tante Citra makin membuat tenggorokannya terasa kering. Dipa menyempatkan diri menengok ke arah Ajeng dan ternyata kondisinya tidak lebih baik. Pacarnya hanya menunduk, tak berani menatap tantenya sendiri. Di titik itu, Dipa merasa jadi manusia terburuk yang pernah ada. Manusia yang hanya bermanis-manis kalau ada maunya. Malu mulai menggelayuti tubuh Dipa beserta monyet-monyet penyesalan.

Tawa Tante Citra meledak seketika. "Syok ya?" tanyanya retoris dengan sisa-sisa tawanya. Sepertinya dia puas betul melihat ekspresi Dipa yang berubah drastis seperti bayam layu.

"Ma-maaf, Tan."

"Ndak-ndak, Dip. Ndak apa-apa. Sangat manusiawi, kok. Tante sudah curiga dari awal. Untuk orang yang baru pertama kali bertemu, kamu itu terlalu baik. Modusmu ndak alus sama sekali, Dip. Jadi yah, mumpung kamu lagi semangat, Tante kasih lahan bermain aja buatmu."

"Jadi, rencana buka cabang itu cuma—"

"Buka cabang? Duitnya siapa, Dip? Hahaha..." Tante Dipa lalu mengalihkan pandangannya ke Ajeng. "Maaf ya, Jeng. Anggep aja ini salam perkenalan dari Tante untuk pacarmu."

"Ajeng tahu Tante orangnya usil, tapi Ajeng enggak nyangka se-ekstrem ini, sampai-sampai Mas Dipa mau nangis."

"Dih, siapa yang nangis, Jeng? Mas cuma kelilipan pahitnya kehidupan," elak Dipa padahal hampir mewek.

"Bukan berarti Tante benci kamu lho, Dip. Walaupun Tante belum tahu motifmu yang sebenarnya, tapi di mata Tante kamu positif kok. Buktinya, kamu rela melakukan ini semua demi tujuanmu, kan? Artinya kamu punya niat untuk bekerja keras. Dan itu bagus buat keponakan Tante yang cantik ini," ujar Tante Citra. Dongkol di hati Dipa mulai memudar. "Dan sebagai permohonan maaf Tante, hari ini Tante gratiskan!"

Tanpa pikir panjang, sebagai kompensasi hatinya yang teriritasi, Dipa menambah pesanan dengan brutal. "Kalau begitu saya nambah 5 sate usus, 5 bungkus nasi kucing, 5 bakwan jagung, dan 5 sate ampela ya,Tante."

"Maksud Tante minumannya yang gratis."

"Ya sudah. Saya mau 10 gelas es jeruk."

"Jeng, pacarmu kalau ngambek suka ngerusak usus sendiri ya?"

Ajeng dan Tante Citra bertukar tawa. Sementara Dipa makin keki.

"Ya wis, sekarang tolong cerita apa sebenarnya yang kalian mau dari Tante. Tante siap mendengarkan."

Dan, Dipa mulai mengungkap maksud kehadirannya.

****

BERBURU RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang