1

430 40 34
                                    

"Pagi, Louis!" Tanganku menepuk bahu Louis yang sedang dikerumuni beberapa penggemar barunya. Entah apa yang membuat Louis begitu mengenali suaraku, ia langsung menoleh dan tersenyum ceria padaku.


Seperti pagi-pagi biasanya, ketika Louis sudah sampai di sekolah, ia selalu kedatangan penggemar. Entar berapa gila penggemarnya, atau lebih tepatnya orang-orang yang terpesona dengannya, sampai-sampai orang di luar sekolahku juga menjadi penggemar Louis.


Aku menaruh tasku di sebelah tempat duduk Louis, dan langsung saja banyak tatapan horor terhadapku. Sudah biasa terjadi.


Louis meninggalkan penggemarnya dan duduk di atas mejaku, "aku mendapat penggemar baru lagi."


Aku memutar mata, "mereka semua aneh karena mengidolakanmu."


"Tidak. Hei, kau hanya cemburu. Kemari." Louis menunduk dan mencium pipiku, membuat penggemarnya yang melihat berniat untuk membunuhku. "Anggap saja balasan ucapan selamat pagi-mu."


Louis bisa tersenyum sangat manis, dan itu ia lakukan di depanku sekarang. Sudah sejak lama ia memiliki senyuman itu, dan aku selalu suka ketika dia melakukannya. Ia bukan pacarku, tentu saja, tetapi dia dan aku sudah mengenal satu sama lain sejak umur 3 tahun. Dia sahabatku.


Sepuluh detik sebelum bel mulai pelajaran berbunyi, Liam memasuki kelas dengan santai dan menaruh tasnya di belakang tempat dudukku. Tipikal Liam, masuk sekolah juga sudah bagus. Ia bukan orang bodoh, malah, sangat pintar sehingga ia tidak perlu belajar di sekolah lagi.


"Hei, Liam," sapaku, yang di balas dengan anggukan. "Tidak berniat membawa tas lagi?"


"Sebenarnya, tas sekolah digunakan untuk membawa buku pelajaran. Untukku, semua materi buku-buku pelajaran sudah ada di dalam sini." Ia menunjuk kepalanya. "Jadi, aku tidak membutuhkan buku pelajaran lagi dan itu sebabnya mengapa aku tidak membutuhkan tas juga."


"Such a good short speech." Louis mengangguk-angguk sambil mengerutkan keningnya. "Give it up to Liam, everybody!"


"Lucu juga," balas Liam malas. Ia menatapku sekarang. "Marz, kau bilang apa kemarin di telepon?"


"Oh, ibuku mengundangmu nanti sore," balasku. "Ke rumahku."


"Wah, kukira hanya aku yang di undang?" Louis memajukan bibir bawahnya. "Marz, kau jahat."


"Bad luck, Loui," ujar Liam, tetap menoleh ke arahku. "Aku akan datang kalau orang ini datang."


"Siapa yang kau maksud dengan 'orang ini', hm?" Louis bertolak pinggang dan menatap Liam tersinggung. "Aku?"


"Tentu saja." Liam menunduk dan menenggelamkan wajahnya di sela-sela tangannya untuk tidur.


Sejak dulu, Liam dan Louis tidak pernah betah bersama. Pasti ada yang mereka komentari atau perebutkan satu sama lain. Dan yang terlalu sering diperebutkan adalah... aku.

LILOWhere stories live. Discover now