CHAPTER 3

11.9K 2.3K 157
                                    

"Halo. Dayu, ya? Saya Ferdy."

Pria berpakaian rapi itu berdiri menyambutnya dengan senyum tiga jari tanpa cela. Mau tidak mau, Dayu juga harus melakukan hal yang sama.

"Hilda sudah cerita banyak soal kamu. Makasih, ya, sudah mau datang malam ini."

Lagi-lagi senyum tiga jari.

Pria pertama yang Hilda sodorkan kepadanya bernama Ferdy, pegawai Kejaksaan Tinggi yang usianya dua tahun di atas Dayu. Kata Hilda, mereka bertemu di klub bowling beberapa tahun lalu, dan Hilda mempromosikan Ferdy sebagai pria matang dan menjanjikan, PNS menantu idaman calon mertua. Dayu hanya mengerutkan dahi saat mendengar itu. Hilda pasti lupa bahwa Dayu tidak punya orangtua.

"Mas Ferdy kok bisa kenal Hilda?" Dayu bertanya, basa-basi saja, karena toh dia sudah tahu jawabannya.

"Kami bertemu di tempat bowling," jawab Ferdy. "Kalau Dayu, biasanya menghabiskan waktu luang dengan apa?"

"Tidur," jawab Dayu sembari tertawa. "Kalau nggak main game aja seharian."

"Wah, pasti karena sudah terlalu capek kerja, ya?"

"Begitulah."

Kesan pertama yang Dayu tangkap dari sosok ini adalah kaku. Mungkin terbawa dengan profesi sehari-harinya. Secara penampilan, Ferdy cukup oke. Style-nya memang rapi dengan kemeja lengan panjang dan celana gelap. Rambutnya disisir rapi dengan pomade, dan tutur katanya juga tertata. Namun, penampilan bukan sesuatu yang Dayu jadikan patokan.

"Dayu suka nonton film?" tanya Ferdy lagi.

"Tergantung film-nya. Saya cuma ke bioskop kalau ada film yang benar-benar pengin saya tonton."

Nah, kan? Dayu mengutuk dalam hati. Tanpa sadar, dia juga ikut-ikutan formal.

"Mau nonton film setelah ini?" tawar Ferdy lagi.

"Ada film apa?"

Lantas Ferdy mulai menyebutkan judul-judul film yang sedang tayang di bioskop beserta sinopsis singkatnya. Agaknya, selain hobi main bowling, Ferdy juga hobi nonton di bioskop.

Dayu berusaha keras untuk terlihat antusias, meskipun dari penjelasan singkat Ferdy, tidak ada film yang masuk daftar tontonnya. Sembari mendengarkan, tangan Dayu terulur untuk mengambil tisu. Saat itu, Ferdy juga melakukan hal yang sama, sehingga tangan mereka pun bersentuhan di kotak tisu.

"Eh, maaf!" kata pria itu, segera menarik tangannya.

Dayu mengerutkan kening. Sebuah pemikiran terpantik dalam benak Dayu, tetapi dia buru-buru menepisnya. Alih-alih, dia hanya tersenyum.

Setelah makan malam, Dayu sepakat untuk nonton film bergenre keluarga. Itu pilihan yang paling mendingan dibanding yang lain. Kebetulan ada bioskop di mal tempat mereka makan malam. Jadi, Dayu dan Ferdy hanya perlu naik ke lantai tiga.

Sepanjang perjalanan, Ferdy bercerita cukup banyak tentang pekerjaannya. Dia juga cerita tentang keluarganya—Ferdy anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya sudah nikah duluan.

"Kalau Dayu? Anak tunggal?"

Dayu menggeleng. "Saya punya kakak perempuan. Tapi udah berkeluarga. Jarang ketemu juga."

"Orangtua?"

Dayu mengernyit sedikit ketika merasakan sentuhan tipis di pinggul belakangnya.

"Nggak ada," jawab Dayu. "Satu mati, satu nggak tahu ke mana."

"Maksudnya?"

Dayu terdiam sebentar. Sebenarnya, topik soal keluarga adalah topik yang paling dibencinya. Dayu jarang merasa insecure atau kurang percaya diri, tetapi topik tentang keluarga membuatnya seperti sebuah kertas usang yang bolong di banyak sisi. Tidak berfungsi.

DIHAPUS - Parafrasa Rasa Where stories live. Discover now