Prolog

20.2K 2.5K 54
                                    

P.S. Cerita ini sudah dihapus sebagian untuk keperluan terbit cetak. Versi digitalnya masih bisa dibaca di Karyakarsa.

***

Pergelangan tangannya berwarna biru.

Gadis itu masih ingat jelas awal dari ini semua. Segalanya tentang sebuah pertanyaan yang begitu sering dia terima, tentang keputusannya untuk tidak terlibat hubungan apa-apa dengan siapa-siapa.

Ada yang menikah karena sudah bertemu pasangan yang tepat. Ada yang menikah karena umur dan lelah didesak oleh orang-orang di sekitarnya. Ada yang menikah karena keharusan—sebuah kondisi yang terjadi akibat keegoisan dan hasrat menguasai manusia. Ada yang menikah karena tidak ingin dianggap tak laku. Semua orang punya alasan. Begitu juga dirinya yang memilih untuk tidak menikah, bahkan, tidak menjalin hubungan dengan siapa pun.

Anjing menggonggong, kafilah berlalu, begitu pikiran jahatnya berkata. Guru budi pekertinya di sekolah dasar bisa sedih karena merasa gagal jika tahu anak didiknya menganggap manusia lain sebagai anjing menggonggong.

Namun, apa yang benar menurutnya, ternyata sangat salah bagi orang lain. Perempuan itu hanya lelah, dengan segala komentar dan desakan—bukankah ada hal-hal lain yang lebih mendesak untuk dia pikirkan?

Jadi, saat itu, dia duduk di sana. Memandang seseorang yang datang menemuinya, satu dari beberapa akhir pekan yang agendanya sama. Pikirannya bercabang. Apakah dia menyerah saja? Mengikuti pakem agar orang-orang berhenti mengusiknya? Lagi pula, dirinya tidak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa keenggannya muncul karena belum bertemu seseorang yang tepat saja. Tidak boleh sombong, karena semesta membenci makhluk yang sombong padahal dirinya kerdil.

Apakah seseorang itu adalah dia? Pria yang saat itu duduk di hadapannya, tersenyum simpatik di balik balutan kemeja slimfit biru tua yang dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Lengan kemejanya digulung sesiku, menampakkan otot lengan yang terlihat kuat dengan garis-garis gelap pembuluh darah. Perempuan lain akan berpikir pemandangan itu seksi. Jadi, gadis itu juga berusaha keras berpikir demikian alih-alih membayangkan kapan tangan berotot itu akan membuka paksa pakaiannya, atau menjambak rambutnya, atau memukul pipinya, atau apa pun yang menciptakan bilur-bilur membiru di tubuhnya.

Dulu, perempuan itu bertanya-tanya sembari melawan segala ketakutannya. Dia juga tidak tahu apakah hasilnya akan sepadan, atau justru membuatnya mundur jauh-jauh memilih tenggelam. Ternyata baru hari ini jawabannya dia temukan.

Pergelangan tangannya berwarna biru. Atau ... akan berwarna biru. Sementara sosok di hadapannya memandang dengan mata melebar, tak jelas apakah karena rasa bersalah atau amarah. Sementara ketakutan yang terus menerus berdengung di benaknya beberapa hari belakangan, kini semakin menggila.

"Maaf," bisik pria itu. "Aku nggak bermaksud—"

Namun, perempuan itu sudah tidak mendengarkan. Sebab, dirinya telah tenggelam dalam pusaran ketakutan yang selama ini menciptakan lubang hitam dalam dirinya.

***

DIHAPUS - Parafrasa Rasa Where stories live. Discover now